Anak lelaki yang duduk di bangku panjang itu menghirup udara lembab pagi hari yang terasa menyegarkan. Helaan nafasnya terkadang menyelingi tolehan kepalanya. Jelas sekali anak itu menanti seseorang. Anak itu menengok jam tangannya dan menggoyangkan kakinya menutupi rasabosannya. "Baru lima belas menit. Aku tidak boleh mundur sekarang," desahnya lirih berusaha menenangkan hatinya. Bapak penjaga sekolah melirik dari seberang dan tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya. Pagi-pagi benar anak itu sudah membangunkannya untuk membuka gerbangsekolah. Menunggu cewek? Sebuah alasan yang cukup bisa dimakluminya sebagai seorang laki-laki dewasa yang sudah pasti pernah muda. Lagipula apa lagi yang dipikirkan seorang anak di masa beranjak gede selain lawan jenisnya. Pemikiran yang cukup sempit itu membuatnya tertawa.
Anak lelaki itu menggeliatkan tubuhnya. Benaknya mulai gelisah. Sekali lagi perutnya memprotes sambal pindang yang terlewatkan tadi pagi. Anak itu memegangi perutnya yang berlipat, merintih pelan. Dalam hatinya ia berjanji, seandainya gadis kecil itu menerima cintaku, aku akan diet mati-matian. Tidak bahkan lalap terong akan kutelan. Aku ingin terlihat keren untuknya. Aku ingin ia tidak malu apabila jalan bergandengan denganku. Aku ingin supaya anak-anak lain memandangku dengan iri. Aku ingin..
Dan anak lelaki itu tersenyum melihat sosok yang muncul dari balik gerbang. Bapak penjaga sekolah mengusap peluh yang mengalir di dahinya. Matanya menatap puas ke arah sampah-sampah plastik dan dedaunan yang terbakar di depan matanya. Setidaknya satu tugas selesai pagi ini. Tangannya bergerak lagi menusukkan patahan sapu itu ke onggokan yang terbakar, memastikan tidak ada bagian yang tak terjamah api. Sudut matanya menangkap langkah gontai itu. "Dik, mau ke mana?" Anak lelaki itu hanya menatap sayu dan tersenyum. Ia tak mungkin menceritakan apa yang baru saja terjadi. Ia tak mungkin menceritakan betapa tawa gadis itu seperti serpihan kaca paru-parunya yang pecah dan mengoyak hati di bawahnya. Ia tak mungkin menceritakan kesia-siaan penantiannya dan segala rencana yang sudah begitu indah terbayang di benaknya setiap malam menjelang tidur.
"Ngaca dulu dong. Emang lo pikir lo sape?"
Berulang-ulang di telinganya. Senyuman anak itu menghilang seiring buliran air mata yang jatuh di pipinya. Kakinya terangkat dan ia berlari, membiarkan tas itu memukul-mukul punggungnya, meninggalkan bapak penjaga sekolah yang berseru memanggil, meninggalkan kepahitan yang menyelubungi tempat itu.
Aku tahu aku anak lusuh yang miskin.
Aku tahu aku buruk, gendut seperti babi.
Aku tahu aku tak pandai berkelahi.
Aku tahu aku menyukaimu dalam khayalku.
Aku tahu aku..
..AKAN MENYIMPANNYA UNTUKMU.
Bagian 1
1997, lima tahun berlalu
Jangan sampai ia melihatku. Nora menempelkan tubuhnya ke sisi tembok. Gadis itu menahan nafasnya, walau sebenarnya ia tahu bahwa pemuda itu takkan bisa mendengarnya. Jantungnya berdegup semakin kencang ketika mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat, Nora mendekap tas itu erat-erat di dadanya. Sebentar lagi ia akan muncul.
Ya Tuhan, mohon jangan sampai ia melihatku.
"Ray, kamu serius hendak pulang?"
Pemuda pertama yang berambut sebahu dengan pakaian serabutan itu hanya menampakkan barisan giginya.
"Tentu saja. Lagipula untuk apa aku terus di sini? Mem-bo-san-kan."
Pemuda yang kedua yang tampak lebih rapi menggeleng-gelengkan kepalanya dan mendesah, "Pokoknya ini yang terakhir untuk kamu."
Ray tertawa renyah, mengambil kertas kecil di tangan Andre dan mengacungkannya di depan wajahnya sendiri, "Thanks, Bro. I'll pay you later."
Andre menatap punggung sahabatnya. Sekali lagi ia menggelengkan kepalanya melihat gerakan kaki yang menyilang saat berlalu itu.
"Benar-benar seorang anak yang meresahkan."
Sekarang ia harus mengembalikan bundel surat ijin itu ke ruang tata usaha sebelum ada yang merasa curiga.
Ya Tuhan, mohon jangan sampai ia melihatku.
Nora menatap Ray yang berlalu seperti seekor pinguin, menunggu sampai pemuda itu menghilang ke arah kantin. Gadis itu memastikan langkah kaki Andre yang menjauh sebelum berani menyembulkan kepalanya dari balik tembok. Tulang-tulangnya terasa begtu lemas. Tanpa ia sadari air mata menitik di pipinya. Gadis itu mengusap matanya dengan punggung tangannya dan mulai melangkah menuju ke kelas. Hatinya benar-benar kacau saat itu. Nora tak menghiraukan sapaan teman-temannya dan langsung menuju ke arah bangkunya. Gadis itu mendudukkan dirinya dan membenamkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya. Beberapa anak mulai merasa heran dan berkasak-kusukdengan kelompoknya masing-masing.
"Nora, kamu tidak apa-apa?"
Nora menegakkan punggungnya dan menghapus air mata yang baru saja mengalir di pipinya.
"Ah, hanya sedikit masalah di rumah."
Ya Tuhan, mohon hilangkan perasaan ini dari hatiku.
Bagian 2
"Kamu benar-benar gila, sayang."
Ray terkekeh dan melingkarkan tangannya di bahu Wulan.
"Kan harus ada yang menemanimu saat kamu sakit."
Gadis itu tertawa renyah dan membiarkan pemuda itu mengecup bibirnya dan mengurangi sedikit rasa pening yang menusuk kepalanya. Ray melumat bibir gadis itu dengan penuh nafsu. Mendadak Wulan mendorong pundak pemuda itu menjauh.
"Kamu barusan makai?"
Ray terkekeh dan berusaha mengecup bibir gadis itu sekali lagi.
"Kan lebih enak begini. Lebih hot, bukan?"
"Sinting kamu. Aku tak pernah suka sisi gilamu yang satu ini."
Gadis itu mendorong tubuh Ray menjauh. Namun Ray lebih sigap dan lebih kuat darinya. Tangan pemuda itu menggamit pergelangan tangan Wulan dan menariknya sampai terjatuh di sofa.
"Hey," Ray mendesis, "Aku tidak bolos hanya untuk kembali lagi ke sekolah."
Wulan merasakan nafas Ray yang menghembus di wajahnya. Jemari pemuda itu mulai merangkak dari perutnya dan membuat gerakan melingkar yang lembut di payudaranya.
"Hentikan, Ray," desah gadis itu saat bibir si pemuda menyentuh bibirnya. Namun Ray seakan tak mendengarnya. Pengaruh 'daun' itu lebih kuat dari akal sehatnya. Tangan pemuda itu menyusup ke balik jubah mandi si gadis dan memainkan payudara gadis itu dengan telapak tangannya. Wulan mengeluh dalam lumatan bibir pemuda yang kini sudah setengah di atas tubuhnya.Ray menikmati tubuh mungil yang menggeliat di bawahnya. Dengan cekatan Ray melepas kancing-kancing di bajunya sendiri dan membuangnya ke lantai. Wulan menarik kepalanya dan menikmati lidah Ray yang menelusuri lehernya, belahan buah dadanya, dan dengan cara yang aneh berhasil membuka ikatan jubah mandinya. Pemuda itu mendesah dan tersenyum saat mendapati kenyataan bahwa gadis itu tidak mengenakan apapun di balik jubah mandinya selain sebuah celana dalam tipis berwarna biru muda.
Wulan semakin menggeliat ketika lidah dan bibir pemuda itu memainkan puting payudaranya dengan gerakan yang liar, tangan gadis itu melingkar di leher Ray dan bergerak meraba punggung telanjang pemuda itu. Ray menelusuri garis tengah gadis di bawahnya, memasukkan lidahnya kelubang pusar si gadis, membuat gadis itu menggelinjang kegelian, dan mengecup lipatan paha si gadis yang masih tertutup kain tipis berwarna biru muda. Wulan mendesah saat pemuda itu mengigit kemaluannya. Ray merasakan kain itu menjadi sedikit basah dan ia tersenyum. Pemuda itumenjulurkan lidahnya dan memainkan bibir vagina si gadis yang menempel di balik kain celana dalamnya yang basah, sementara tangannya melepas kan celana abu-abunya berikut celana dalamnya sendiri.
"Nggak, ah." Wulan menggelengkan kepalanya saat Ray bangkit dan mendudukkan tubuhnya di samping gadis itu. Ray mengerenyitkan alisnya sedikit kecewa. Namun Ray bukan seorang pemuda yang bisa ditolak begitu saja, apalagi dalam kondisi tak karuan seperti saat itu.
"Ayo, dong," Ray mendesah manja sambil memainkan batang penisnya yang menegang. Wulan menggigiti bibir bawahnya sambil menatap batang kejantanan dalam genggaman pemuda itu.
"Aku masih sakit, Ray."
Ray benar-benar gelap. Jemarinya bergerak melingkari punggung leher si gadis dan menekan kepala si gadis ke dalam pangkuannya.
"Aku tahu," desis pemuda itu, "Dan ini adalah obat yang paling mujarab, bahkan untuk batuk rejan sekalipun."
Wulan melipat alis matanya, namun bibirnya menemukan ujung penis itu. Gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat, namun kecupan lembut dan bisikan "Please," yang didengarnya membuat bibirnya membuka. Ray mendesah saat ujung penisnya memasuki rongga mulut gadis itu. Pemuda itu menggunakan tangannya menarik dan menekan kepala gadis di pangkuannya, Wulan mengerang dan sedikit terbatuk.
"Ray, sudah deh. Kepalaku pusing."
Ray menyengirkan mulutnya.
"Sedikit lagi." Dan tangannya kembali menekan kepala si gadis.
Beberapa saat kemudian pemuda itu mengangkat kepala si gadis dari penisnya dan menyemburkan spermanya. "Gila. Cepat sekali." Mau tak mau Wulan tertawa. Ray tersenyum dan sedikit kecewa pada dirinya sendiri. Ternyata pengaruh daun itu benar-benar menguras daya tahannya. Tapi tubuhnya benar-benar lemas sekarang.
Wulan tersenyum dan meraba pipi pemuda yang sudah memejamkan matanya itu dengan lembut. Keinginan kewanitaannya sedikit mengajukan protes, namun Wulan sadar tak ada gunanya menghadapi Ray yang sedang dalam kondisi 'tak karuan' seperti saat itu. "Dasar cowok tampan yang bandel." Gadis itu mencubit pipi pemuda yang terlelap itu sebelum melangkah menuju kamar mandi. Dalam hati ia bersyukur karena Ray mudah terlelap. Seandainya Ray meminta yang lebih daripada itu, entah apa yang harus dilakukannya. Mungkin sebaiknya ia menelepon Enni nanti malam, danmeminta gadis itu untuk kembali pada mantan kekasihnya yang berubah brutal ini. Tapi siapa lagi yang akan memberinya kenikmatan dan kenangan-kenangan indah seandainya Ray benar-benar pulang? Wulan tersenyum saat memasukkan sikat gigi itu ke dalam mulutnya.
Bagian 3
Nora memandang sekali lagi kata-kata yang terangkai di secarik kertas di hadapannya. Dalam hati ia merasa sangat malu pada dirinya sendiri.
Ya Tuhan, akankah ia memaafkan diriku?
Sekilat ingatan tentang proses perubahan seorang lelaki yang disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri melintas di benaknya. Dalam penyesalannya selama bertahun-tahun ini, pertanyaan yang sama selalu berulang-ulang di kepalanya, membuatnya menjadi ketakutan dan gelisah saat menatap sosok lelaki itu, bahkan dalam jarak seratus meter pun.
Ya Tuhan, mengapa aku menyesal sekarang?
Aku mencintainya. Kata-kata itu juga selalu terngiang di telinganya. Dan kata-kata itu meluncur dari bibirnya sesaat sebelum dan sesudah ia terlelap dalam mimpi-mimpi buruknya. Pemuda itu begitu menawan, begitu tinggi di atasnya, begitu menggoda untuk digapai. Jauh lebih menggodadari pemuda-pemuda lain yang mengobral cinta untuknya. Namun apa yang telah dilakukannya? Ia telah menyebabkan pemuda itu kehilangan perasaannya. Ia telah menyebabkan pemuda itu begitu menderita dalam kesendiriannya. Yang (mungkin) hanya Nora dan pemuda itu sendiri ketahuidisaat-saat pemuda itu hanyut dalam kesendiriannya di sudut-sudut tergelap kamarnya. Nora bisa membayangkannya. Gadis itu seakan bisa menatap air mata yang mengalir di pipi pemuda itu saat mengenang dirinya. Dan Nora kini begitu mencintainya. Air mata gadis itu menetes di atas kertas.
"Benarkah aku mencintainya," gadis itu mendesah dalam kegalauannya. Apakah perasaan ini timbul dari sebuah perasaan bersalah yang terpupuk selama bertahun-tahun? Apakah perasaan ini timbul setelah ia menyadari kelelakian pemuda itu yang mulai tampak di masa-masa beranjak dewasanya? Salahkah aku kalau aku dulu begitu menganggap rendah padanya? Pertanyaan demi pertanyaan mengiang lagi. Dan kali ini Nora sudah membulatkan tekadnya untuk mengakhiri mimpi-mimpi buruk itu. Dengan secarik kertas di genggaman tangannya.
Ya Tuhan, tunjukkanlah kebenaran itu padaku.
Bersambung . . . . .
No comments:
Post a Comment