Besoknya, aku merasa waktu begitu lama berjalan. Hingga tiba jam 4 sore aku menanti telepon dari Erika. Aku mulai gelisah ketika 15 menit berlalu Erika belum menelepon juga. Aku mulai menghitung detik-detik yang berlalu hingga hampir setengah jam, namun tiba-tiba.. teleponku berbunyi. Seketika aku berlari menuju ruangan telepon. Dari seberang sana aku mendengar suara Erika yang kunanti-nantikan. Erika meminta maaf sebelumnya dan menyuruhku untuk menjemputnya di wartel dekat pertigaan menuju kampusku. Aku langsung menyambar kunci mobil lalu bergegas menuju wartel tempat di mana Erika sedang menungguku.
Aku memarkir mobil di depan wartel itu, dan tak lama berselang kulihat Erika dengan memakai kaos ketat warna orange bertuliskan Mickey Mouse di bagian dadanya serta celana jeans warna abu-abu. Erika langsung naik ke atas mobil setelah memastikan tidak ada orang lain yang mengenalnya di tempat itu.
Aku tersenyum memandangnya. Erika kelihatan begitu cantik hari ini. Bibirnya hari ini dipoles warna silver, bikin jantung ini semakin deg-degan. Segera kutancap gas menuju arah KG yang berhawa sejuk kira-kira 30 km dari kota Y.
Selama di perjalanan aku dan Erika bercerita tentang Heri dan Era, pacarku. Sampai di KG aku mengajak Erika makan pada sebuah rumah makan yang nuansa romantisnya sangat terasa. Aku tanpa canggung lagi memeluk pinggang Erika pada saat kami memasuki rumah makan tersebut. Erika juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Setelah memesan makanan dan minuman aku memeluknya lagi. Tanganku bergerilya di sekitar pinggangnya yang terbuka. Suasana lesehan yang ruangan yang dibagi-bagi beberapa tempat di rumah makan itu membuat aku bisa bertindak leluasa kepada Erika.
"Tadi malam mimpi lagi, nggak?" tanyanya.
"Nggak, tapi aku sempat membayangkanmu waktu aku lagi main sama Era," jawabku tanpa malu-malu.
Erika tertawa, sambil tangannya mencubit pinggangku. Hari sudah agak malam ketika kami meninggalkan tempat itu. Setelah berputar-putar di sekitar lokasi pegunungan, akhirnya aku memutuskan untuk menyewa sebuah kamar pada sebuah penginapan. Semula Erika menolak soalnya dia takut kalau kami tidak bisa menahan diri. Aku akhirnya meyakinkan Erika bahwa sebenarnya aku cuma ingin berdua saja dengannya, sambil memeluk tubuhnya, itu saja.
Akhirnya Erika mengalah. Dalam kamar penginapan itu Erika tampak jadi pendiam. Dia duduk di atas kursi sementara aku di atas tempat tidur. Aku mencoba menghiburnya dengan bertanya tentang kuliah serta keluarganya termasuk hubungannya dengan Heri. Selama aku bertanya dia cuma menjawab ya dan tidak, cuma itu yang keluar dari mulutnya. "Mas Doni pasti menganggap aku cewek murahan, ya kan?" akhirnya dia berbicara juga jadinya. Ternyata Erika masih belum bisa menerima perlakuanku dengan membawanya ke dalam penginapan ini. Namun aku tidak menyesal karena dalam pikiranku sebenarnya dia sudah tahu apa yang bakalan terjadi sejak kejadian kemarin pagi di kamar Heri. Tinggal bagaimana caranya aku menyeretnya ke atas ranjang tanpa ada pemaksaan sedikitpun.
"Ka, aku sudah bilang sejak kemarin kalau aku ingin berduaan saja bersamamu, memelukmu tanpa ada rasa takut, dan kurasa di sinilah tempatnya," jawabku mencoba memberikan pengertian kepadanya.
"Tapi apa Mas Doni sanggup untuk tidak melakukannya?" Erika menatapku tajam.
"Kalau kamu gimana?" aku malah balik bertanya.
"Aku tanya Mas Doni, kok malah balik nanya ke aku?" tanyanya agak ketus.
"Aku sanggup, Ka" tegasku.
Akhirnya dia tersenyum juga. Erika lalu berjalan ke arahku menuju tempat tidur lalu duduk di sampingku. Aku lalu merangkul tubuhnya lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur.
"Janji ya, Mas Don!" ujarnya lagi. Aku mengangguk.
Aku kini memeluk tubuh Erika dengan posisi menyamping sedang Erika menghadap langit-langit kamar. Kucium pipinya sambil jemariku membelai-belai bagian belakang telinganya. Matanya terpejam seolah menikmati usapan tanganku. Kupandangi wajahnya yang manis, hidungnya yang mancung lalu bibirnya. Tak tahan berlama-lama menunggu akhirnya aku mencium bibirnya. Kulumat mesra lalu kujulurkan lidahku. Mulutnya terbuka perlahan menerima lidahku. Lama aku mempermainkan lidahku di dalam mulutnya. Lidahnya begitu agresif menanggapi permainan lidahku, sampai-sampai nafas kami berdua menjadi tidak beraturan.
Sesaat ciuman kami terhenti untuk menarik nafas, lalu kami mulai berpagutan lagi dan lagi. Tangan kiriku yang bebas untuk melakukan sesuatu terhadap Erika kini mulai kuaktifkan. Kubelai pangkal lengannya yang terbuka. Kubuka telapak tanganku sehingga jempolku bisa menggapai permukaan dadanya sambil membelai pangkal lengannya. Bibirku kini turun menyapu batang lehernya seiring telapak tanganku meraup buah dadanya. Erika menggeliat bagai cacing kepanasan terkena terik mentari. Suara rintihan berulang kali keluar dari mulutnya di saat lidahku menjulur menikmati batang lehernya yang jenjang.
"Mas Don, jangan..!" Erika mencoba menarik telapak tanganku yang kini sedang meremas-remas buah dadanya. Aku tidak peduli lagi. Lagian dia juga tampaknya tidak sungguh-sungguh untuk melarangku. Hanya mulutnya yang melarang sedang tangannya cuma memegang pergelangan tanganku sambil membiarkan telapak tanganku terus mengelus dan meremas buah dadanya yang montok membusung.
Suasana alam pegunungan yang dingin saat ini sangat kontras dengan keadaan di dalam kamar tempat kami bergumul. Aku dan Erika mulai kegerahan. Aku akhirnya membuka kaosku sehingga bertelanjang dada. "Ka, aku ingin melihat buah dadamu, Sayang.." ujarku sambil mengusap bagian puncak payudaranya yang menonjol. Dia menatapku. Mestinya aku tidak perlu memohon kepadanya karena saat itupun aku sudah membelai dan meremas-remas buah dadanya, tapi entah kenapa aku lebih suka jika Erika membuka kaosnya sendiri untukku. "Tapi janji Mas Don ya, cuma yang ini aja," katanya lagi. Aku cuma mengangguk, padahal aku tidak tahu apa yang mesti kujanjikan lagi.
Erika akhirnya membuka kaos ketat warna orange-nya di depanku. Aku terkagum-kagum menatap gundukan daging di dadanya yang tertutup oleh BH berwarna hitam. Payudara itu begitu membusung, menantang. Buah dada Erika naik turun seiring dengan desah nafasnya yang memburu. Sambil berbaring Erika membuka pengait BH-nya di punggungnya. Punggungnya melengkung indah. Aku menahan tangan Erika ketika dia mencoba untuk menurunkan tali BH-nya dari atas pundaknya. Justru dengan keadaan BH-nya yang longgar karena tanpa pengait seperti itu membuat payudaranya semakin menantang. Payudaranya sangat montok sama seperti yang selama ini kubayangkan.
"Buah dadamu bagus, Ka" aku mencoba mengungkapkan keindahan pada tubuhnya. "Pantes si Heri jadi tergila-gila sama Erika," pikirku. Perlahan aku menarik turun cup BH-nya. Mata Erika terpejam. Perhatianku terfokus ke puting susunya yang berwarna kecoklatan. Lingkarannya tidak begitu besar sedang ujungnya begitu runcing dan kaku. Kuusap putingnya lalu kupilin dengan jemariku. Erika mendesah. Mulutku turun ingin mencicipi buah dadanya. "Egkhh.." rintih Erika ketika mulutku melumat puting susunya. Kupermainkan dengan lidah dan gigiku. Sekali-sekali kugigit putingnya lalu kuisap kuat-kuat sehingga membuat Erika menarik rambutku. Puas menikmati buah dada yang sebelah kiri, aku mencium buah dada Erika yang satunya yang belum sempat kunikmati. Rintihan-rintihan dan desahan kenikmatan silih berganti keluar dari mulut Erika. Sambil menciumi buah dada Erika, tanganku turun membelai perutnya yang datar, berhenti sejenak di pusarnya lalu perlahan turun mengitari lembah di bawah perut Erika.
Kubelai pahanya sebelah dalam terlebih dahulu sebelum aku memutuskan untuk meraba bagian kewanitaannya yang masih tertutup oleh celana jeans ketat yang dikenakan Erika. Aku secara tiba-tiba menghentikan kegiatanku lalu berdiri di samping ranjang. Erika tertegun sejenak memandangku, lalu matanya terpejam kembali ketika aku membuka jeans warna hitam yang kukenakan. Sengaja aku membiarkan lampu yang menyala terang agar aku bisa melihat secara jelas detil dari setiap inci tubuh Erika yang selama ini sering kujadikan fantasi seksku. Aku masih berdiri sambil memandang tubuh Erika yang tergolek di ranjang, menantang. Kulitnya yang tidak terlalu putih membuat mataku tak jemu memandang. Perutnya begitu datar. Celana jeans ketat yang dipakainya telihat terlalu longgar pada pinggangnya namun pada bagian pinggulnya begitu pas untuk menunjukkan lekukan pantatnya yang sempurna.
Puas memandang tubuh Erika, aku lalu membaringkan tubuhku di sampingnya. Kurapikan untaian rambut yang menutupi beberapa bagian pada permukaan wajah dan leher Erika. Kubelai lagi buah dadanya. Kucium bibirnya sambil kumasukkan air liurku ke dalam mulutnya. Erika menelannya. Tanganku turun ke bagian perut lalu menerobos masuk melalui pinggang celana jeans Erika yang memang agak longgar. Jemariku bergerak lincah mengusap dan membelai selangkangan Erika yang masih tertutup celana dalamnya. Erika menahan tanganku ketika jari tengah tanganku membelai permukaan celana dalamnya tepat diatas kemaluannya, basah. Aku terus mempermainkan jari tengahku untuk menggelitik bagian yang paling pribadi tubuh Erika. Pinggul Erika perlahan bergerak ke kiri, ke kanan dan sesekali bergoyang untuk menetralisir ketegangan yang dialaminya.
"Mas Don, nanti kita terlalu jauh, Mas.." ujarnya perlahan sambil menatap sayu ke arahku. Melihat matanya yang sayu ditambah dengan rangsangan yang dialami Erika menambah redup bola matanya. Swear, aku semakin bernafsu melihatnya. Aku menggeleng lalu tersenyum. Dibilang begitu aku malah menyuruh Erika untuk membuka celana jeans yang dipakainya.
Tangan kanan Erika berhenti pada permukaan kancing celananya. Kelihatannya dia ragu-ragu. Aku lalu berbisik mesra ke telinganya kalau aku ingin memeluknya dalam keadaan telanjang seperti yang selama ini aku mimpikan. Erika lalu membuka kancing dan menurunkan reitsliting celana jeans-nya. Celana dalam hitam yang dikenakannya begitu mini sehingga rambut-rambut keriting yang tumbuh di sekitar kemaluannya hampir sebagian keluar dari pinggir celana dalamnya. Aku membantu menarik turun celana jeans Erika. Pinggulnya agak dinaikkan ketika aku agak kesusahan menarik celana jeans Erika. Posisi kami kini sama-sama tinggal mengenakan celana dalam. Tubuhnya semakin seksi saja. Pahanya begitu mulus. Memang harus kuakui tubuhnya begitu menarik dan memikat, penuh dengan sex appeal.
Erika menarik selimut untuk menutupi permukaan tubuhnya. Aku beringsut masuk ke dalam selimut lalu memeluk tubuh Erika. Kami berpelukan. Kutarik tangan kirinya untuk menyentuh batang kejantananku. Dia terkejut mendapatkan kemaluanku yang tanpa penutup lagi. Memang sebelum masuk ke dalam selimut, aku sempat melepaskan celana dalamku tanpa sepengetahuan Erika. Aku tersenyum. "Oh.." Erika semakin kaget ketika tangannya menyentuh kemaluanku yang tegang.
"Kenapa, Ka?" tanyaku pura-pura tidak mengerti. Padahal aku tahu dia pasti terkejut karena merasakan kejantananku yang kokoh. Erika tersenyum malu. Kemaluanku yang panjangnya kira-kira 18 cm serta agak gemuk membuat Erika malu tapi mau, ditambah takut, mungkin. Erika mulai berani membelai dan menggenggam kejantananku. Belaiannya begitu mantap menandakan Erika juga begitu piawai dalam urusan yang satu ini.
"Tangan kamu pintar juga ya, Ka," ujarku sambil memandang tangannya yang mengocok senjataku.
"Ya, mesti dong!" jawabnya sambil cekikikan.
"Mas Doni sama Era satu minggu bisa main berapa kali, Mas?" tanyanya sambil terus mengurut-urut batang zakarku.
"Setiap ketemu pasti main, kalau kamu sama Heri?" aku malah balik bertanya.
Mendapat pertanyaan seperti itu entah kenapa nafsuku tiba-tiba semakin liar namun aku tetap bertahan untuk sementara waktu sebelum menyetubuhinya. Erika akhirnya bercerita kalau Heri ternyata suka main perempuan, padahal bukankah sudah ada dirinya? Mau berapa kali Heri meminta, Erika pasti melayaninya. Akhirnya aku jelaskan kalau cowok memang begitu. Sudah dari sononya. Sama seperti aku, kenapa masih menginginkan Erika padahal Era siap melayaniku setiap waktu. Sambil memberikan perjelasan begitu jari-jariku yang nakal masuk dari samping celana dalam langsung menyentuh bukit kemaluan Erika yang sudah basah. Telunjukku membelai-belai klitorisnya sehingga Erika keenakan.
"Kamu biasa ngisep nggak, Ka?" tanyaku tanpa malu-malu lagi. Erika tertawa sambil mencubit batang kemaluanku. Aku meringis.
"Kalo punya Mas Doni mana bisa?" ujarnya.
"Kenapa memangnya?" tanyaku penasaran.
"Nggak muat di mulutku," selesai berkata demikian Erika langsung tertawa kecil.
"Kalau yang dibawah, gimana?" tanyaku lagi sambil menusukkan jari tengahku ke dalam lubang kemaluannya. Erika merintih sambil menahan tanganku. Jariku sudah tenggelam ke dalam liang senggamanya. Aku merasakan liang kewanitaannya berdenyut menjepit jariku. Ugh, pasti nikmat sekali kalau kemaluanku yang diurut, pikirku. Matanya memandang tajam ke arahku.
Bersambung . . . .
No comments:
Post a Comment