k Cerita Awek: Nita kolegaku - 1

Friday, December 23, 2011

Nita kolegaku - 1

Aku adalah seorang karyawan sebuah perusahaan swasta. Sejak kecil aku didik sebagai orang yang disiplin, sehingga di lingkungan kerjaku aku dikenal sebagai karyawan teladan. Namun begitu harus aku akui aku memiliki banyak kekurangan diantaranya adalah aku terbiasa melakukan onani untuk melampiaskan hasrat seksualku. Bahkan sejak tahun 1999, aku terbiasa berhubungan seks dengan para PSK di panti pijat pinggir kota. Entah mengapa mereka menilai aku sebagai seorang yang pandai menyenangkan pasangan, padahal aku tidak pernah belajar dari siapapun kecuali dengan mereka. Mungkin aku belajar dari pengalaman. Dengan kondisi seperti itu aku selalu ditunggu-tunggu oleh mereka. Bahkan mereka tidak mengharuskan aku membayar jasanya. Suatu hal yang menguntungkanku. Tahun 2000 aku tidak lagi melakukan hal itu karena panti pijat tersebut sudah ditutup. Entah apa sebabnya. Setelah aku "istirahat" dan kembali dengan cara lama, onani, tiba-tiba aku mengalami peristiwa yang tidak disangka-sangka.

Aku biasa tiba di kantor selambat-lambatnya pukul 07.45 WIB, sehingga sering kujumpai kantor masih sepi. Suatu hari, atasanku meminta laporan bulananku ditaruh di mejanya besok hari Jum'at pagi sebelum pukul 08.00 WIB. Aku pikir, mungkin dia agak terburu-buru pada hari Jum'at besok. Dengan permintaan itu, Kamis sore itu, laporan harus sudah selesai. Aku pun lembur sebentar. Karena aku ada janjian dengan teman serumah mau pergi bareng, akhirnya laporan aku selesaikan di rumah. Esok paginya aku datang seperti biasa. Kantor masih sepi. Jam dinding menunjukkan pukul 07.40 WIB. Segera aku masuk ke ruang atasanku untuk meletakkan laporanku di mejanya. Begitu pintu ruang yang agak berbunyi itu kubuka. Kulihat pemandangan yang cukup mengagetkan disertai pekikan orang terkejut.

"Maaf pak.", hanya itu yang aku katakan dan pintu kututup lagi.
Aku menuju mejaku dengan pikiran kacau, heran. Meski aku sudah duduk di kursiku, aku masih tertegun. Tidak ada pekerjaan yang aku lakukan kecuali memikirkan pemandangan yang baru saja kulihat. Sebentar kemudian, rekanku Nita keluar dari ruang kerja Pak Hartono sambil merapikan pakaiannya. Dia menuju mejanya dengan wajah tertunduk. Sejenak dia terdiam tanpa aktivitas.
"Rud, dipanggil Pak Hartono.", katanya memecah kesunyian.
"O ya? Makasih ya.", segera aku menuju ruangan Pak Hartono sambil tidak lupa membawa laporan yang diminta.
"Pagi Pak. Maafkan saya Pak." kataku memberi salam sambil meminta maaf.
"Pagi.", jawabnya singkat.
"Ini laporannya Pak.", kataku sambil meletakkannya di meja.
Hening sejenak.

"Permisi Pak.", kataku sambil hendak keluar.
Sebelum aku beranjak, Pak Hartono mencegahku, "Sebentar!"
"Iya Pak?", tanyaku.
"Duduk dulu Nak Rudy! Nak Rudy, baru saja melihat perbuatan saya dengan Nita. Tidak bisa ditutupi lagi. Tetapi dengan peristiwa tadi saya mohon Nak Rudy tidak menceritakan kepada siapapun!", kata Pak Hartono kemudian.
"Iya Pak.", jawabku.
"Bener ya? Saya betul-betul memohon kepada Nak Rudy. Nak Rudy tahu sendiri bagaimana selama ini orang melihat saya. Saya dikenal sebagai orang yang baik.", Pak Hartono memohon kepadaku.
"Ini nak Rudy, saya berikan sejumlah uang lewat cek tetapi imbalannya Nak Rudy harus tutup mulut.", katanya sambil mengeluarkan lembaran cek kosong untuk ditulis.
"Nggak perlu Pak, saya betul-betul akan tutup mulut Pak.", sergahku sambil mencegah dia menggoreskan penanya pada lembaran cek.
"Ya sudah. Terima kasih laporannya ya.", katanya lagi.
"Iya Pak. Permisi Pak", kataku sambil keluar ruangan.
Di luar aku melihat Nita sudah mulai mengerjakan sesuatu, tetapi begitu aku muncul dia agak grogi. Seharian Nita seperti seorang pendiam.
Sampai-sampai temanku bertanya, "Kamu ada masalah Nit?"
"Nggak.", jawabnya singkat.
Aku mencoba menunjukkan sikapku dengan menimpali, "Nita sedang sakit gigi."
"Iya Nit?", temanku menanyakan.
Dia mengangguk, berbohong.

Hari Senin pagi aku dipanggil Pak Hartono.
"Nak Rudy, saya percaya dengan ucapan Nak Rudy kemarin. Hanya saya membutuhkan sesuatu untuk menenangkan hati saya.", kata Pak Hartono sambil menyodorkan selembar kertas bermaterai.
Kuambil kertas tersebut dan kubaca kalimat-kalimat yang tertulis.
"Saya harap Nak Rudy mau menandatanganinya!", Pak Hartono memohon.
"Saya sengaja menulisnya demikian, saya harap Nak Rudy bisa memahaminya. Ini bukti transfernya. Sebelum ke sini saya sempatkan mampir ke ATM.", katanya lagi.
"Baiklah, kalau dengan hal ini Pak Hartono lebih percaya dan merasa tenang, saya bersedia Pak. Tetapi Pak, bukankah transfer rekening ini justru mencurigakan bagi istri Bapak?", kataku kemudian.
"Nggak ada masalah tentang hal itu Nak Rudy. Transfer saya ke rekening Nita tidak pernah bermasalah.", katanya yakin.
Tanpa menunggu lama aku langsung menandatangani "Surat Pernyataan" yang sengaja dibuat Pak Hartono sehubungan dengan peristiwa Hari Jum'at kemarin.
"Terima kasih Nak Rudy.", Pak Hartono menyalamiku.
"Ada hal lain yang mau disampaikan?", tanyaku.
"Nggak ada. Sudah cukup Nak.", katanya.
"Kalau begitu, saya mau kembali ke meja saya.", kataku lagi.
"Silahkan.", katanya.

Di luar, aku melihat wajah Nita sudah normal sebagaimana biasa. Nita aku kenal sebagai wanita yang baik-baik pula. Dengan peristiwa kemarin aku sangat terkejut dan tidak habis fikir. Mumpung masih pagi, teman-teman belum datang, aku mau "menginterogasi" Nita.
"Hai Nit.", sapaku.
"Pagi Rud.", jawabnya.
"Boleh nanya Nit?", tanyaku.
"Soal kemarin?", dia menebak.
"Iya. Kamu nggak usah khawatir Nit, baru saja aku menandatangani Surat Pernyataan.", kataku.
"Ya, aku sudah tahu. Mau nanya apa?", tanyanya.
"Boleh tahu latar belakang dan awal mula kamu berhubungan dengan Pak Hartono?", tanyaku.
"Sebetulnya aku malu Rud, tapi apa daya? Kamu sudah memegang kartunya.", dia menjawab.
"Kan baru saja kartunya saya kembalikan tadi?", kataku sambil tersenyum.
Sejenak Nita meneliti ruangan, memastikan tidak ada orang lain.
"Begini aja Rud, nanti saja habis pulang kantor kita mampir di kedai es teler depan kantor. Sebentar lagi teman-teman pasti datang.", pintanya.
"OK. Terserah kamu saja.", kataku.

"Aku tidak habis mengerti, aku mempunyai dorongan seksual yang besar.", katanya membuka cerita, "Sejak kelas 4 SD aku sudah terbiasa mastrubasi dan kebiasaan itu berlanjut hingga sekarang. Aku tidak pernah berfikir untuk melakukan hubungan seks dengan laki-laki sebelum pernikahan, karena jika orang tuaku dan orang-orang yang aku kenal mengetahuinya, harga diriku akan jatuh. Sebagaimana sekarang di hadapanmu."
"Tapi kamu telah melakukannya.", selaku, "Awalnya bagaimana?"
"Sebulan setelah aku bekerja di sini aku dipanggil Pak Hartono. Dia merayuku.", katanya melanjutkan cerita.

Nita pun mengisahkan awal mula skandal seksnya dengan Pak Hartono.
"Nita, kamu mau menolong saya?"
"Menolong apa Pak?"
"Meski baru sebulan kamu bekerja, tetapi sedikit banyak kamu telah mengenal saya. Saya sudah sering cerita tentang istri saya yang sibuk dengan organisasinya sehingga waktunya untukku sebagai suaminya sangat kurang. Tapi kamu tahu bahwa saya dikenal sebagai orang yang baik-baik. Saya tidak ingin, gara-gara hubungan yang kurang baik dengan istri, nama saya jatuh. Saya melihat kamu orangnya baik. Saya memohon kepadamu, sesekali dapat menemani saya untuk menggantikan peran istri saya. Saya tidak memaksa. Tapi tolong jangan menceritakan hal ini kepada siapapun! Kamu tidak harus menjawabnya sekarang."
"Seharian aku memikirkan terus hal itu Rud. Aku tidak habis mengerti mengapa aku tidak menolaknya seketika? Mungkin karena tawaran Pak Hartono bertemu dengan kepentinganku atas dorongan seksualku."
"Dan esok harinya kamu menerima tawarannya?", tanyaku menyelidik.
Nita mengangguk.

"Aku pikir yang ini tidak sama dengan yang selama ini aku pikirkan. Pak Hartono dikenal sebagai orang terhormat, jadi aku yakin dia juga akan menjaganya dengan baik.", Nita melanjutkan kisahnya, "Biasanya kami melakukannya kalau ada tugas luar atau kencan di tempat tertentu."
"Tapi sepandai-pandai Tupai melompat suatu kali akan jatuh juga.", selaku.
"Betul Rud. Peristiwa kemarin tidak direncanakan. Kami janjian ketemu pagi untuk urusan kantor, ada hubungannya dengan laporanmu. Tapi tiba-tiba Pak Hartono ingin membuat sensasi, berhubungan di kantor. Aku sudah memperingatkannya, tapi dia tidak peduli. Mungkin karena merasa selama ini aman-aman saja. Dan apa yang aku perkirakan terjadi.", katanya kemudian.
Nita menghentikan ceritanya. Mungkin hanya itu yang perlu diceritakan kepadaku. Dan aku pun sudah merasa cukup dengan ceritanya. Aku diam sejenak, menunggu Nita berbicara lagi.
"Pulang yuk. Sudah sore.", kataku setelah kami diam cukup lama.
Setelah itu, muncul sebuah gagasan. Aku harus mendapatkan Nita!

Esok harinya aku memulai rencanaku.
"Nit, pulang kantor kita minum es lagi yuk!", ajakku.
"Tumben?", dia bertanya keheranan.
"Ada yang penting!" kataku berlagak serius, "Nggak ada acara tho?"
"Nggak ada kok. Tapi kamu yang traktir ya!", katanya kemudian.
"OK", jawabku bersemangat.

"Ada masalah penting apa Rud?", tanya Nita penasaran.
"Aku mau mengikuti jejakmu.", kataku mantap sambil menatapnya tajam.
"Jejak yang mana Rud?", Nita semakin penasaran.
"Skandal seks.", jawabku singkat.
"Kamu? Nggak salah dengar nih?", Nita keheranan.
Aku hanya menggeleng mantap.
"Dengan siapa Rud?", tanyanya ingin tahu.
"Dengan orang yang kupercaya.", jawabku mantap sambil tersenyum.
"Boleh aku tahu?", Nita bertanya penasaran.
"Boleh.", kataku sambil mengangguk.
"Siapa Rud?", Nita bertanya penuh semangat.
"Kamu." jawabku mantap.
Nita diam sejenak. Tapi tiba-tiba dia kelihatan bersemangat.
"Apa boleh buat. Kamu pegang kartu." katanya sambil tersenyuim.
"Sudah kukembalikan ke Pak Hartono." kataku sambil tersenyum pula.
"Kapan kita mulai? Di mana?", tantangnya.
Aku tersenyum kemenangan. Skenarioku berjalan begitu mulus.
"Kamu lebih tahu.", aku sengaja memposisikan diri sebagai seorang pemula.
"OK. Hari Sabtu lusa di rumahku.", jawabnya mantap.
"Teman-temanmu?", tanyaku menguji rencananya.
"Nggak masalah. Mereka mau pulang kampung semua.", katanya yakin, "Bagaimana?"
"OK.", jawabku sambil tersenyum penuh kemenangan.
Terbayang dalam benakku, aku dan Nita bermain seks bersama.

Bersambung . . .


No comments:

Post a Comment