Tidak seperti biasa, selesai mandi aku bingung memilih-milih pakaian apa yang akan kukenakan. Biasanya aku hanya memakai daster karena memang jarang bepergian, lebih banyak di rumah. Kalaupun keluar rumah aku memilih blouse biasa dipadu dengan rok panjang atau celana panjang, tidak berani memakai blouse atau kaos ketat karena mata para lelaki yang nakal. Bang Mamat juga kurang suka kalau aku menonjolkan bentuk dadaku di luar rumah. Sebaliknya, Mas Narto senang kalau aku mengenakan blouse atau kaos ketat.
Untuk menyambut Mas Narto, apakah sebaiknya aku mengenakan yang ketat? Ah, tidak lah. Meskipun aku ingin, tapi nanti dapat menimbulkan kesan tidak baik. Akhirnya kupilih blouse yang tidak begitu ketat dan rok panjang.
"Pa kabar..?" sapa Mas Narto ramah sambil mengulurkan tangan.
Wajahnya tidak berubah, masih tampan. Hanya badannya agak gemukan.
"Baik aja, Mas."
Tanganku digenggamnya erat. Mas Narto datang dengan 2 lelaki. Lelaki yang satu kutelah kenal, si Adi, dia dulu asistennya sewaktu membangun kamar kost. Yang satu lagi kawannya yang mau lihat-lihat bangunan.
"Okey Di, langsung antar aja Pak Bambang lihat-lihat. Sama Adi aja ya Pak Bambang, udah lama engga ketemu sama Ipeh, pengin ngobrol"
"Okay, nggak pa-pa." kata Pak Bambang.
Berdua mereka beranjak. Mas Narto duduk lagi, aku duduk di sofa berseberangan dengan Mas Narto.
"Ibu ada..?"
"Kan pergi sama Ayah."
"Bang Mamat..?"
"Lagi mengabsen nih ceritanya..?"
"Ha.. ha.. kamu engga berubah juga. Eh.. ada yang berubah ding."
"Apanya..?"
"Udah jadi Ibu, makin cantik aja.."
Mungkin wajahku jadi merah. Tapi terus terang aku senang dipuji oleh Mas Narto.
"Kenalin aku sama si 'Kecil' dong."
"Lagi dibawa main ama pengasuh, Mas."
"Oo.., jadi kamu sendirian..?"
"Iya.. emang kenapa..?"
"Ah engga, cuman ingat 4 tahun lalu."
Ada seberkas senyum nakal di wajahnya.
Dulu kami memang cari kesempatan sepi begini untuk bercumbu. Aku menghela napas panjang.
"Bentar ya Mas, eh, mau minum apa..?" kataku mengalihkan perhatian.
"Apa aja yang kamu bikin Mas mau."
Kubuatkan teh manis panas kesukaannya.
Sewaktu aku kembali ke ruang tamu, Mas Narto telah pindah duduk, di sofa. Dan ketika aku meletakkan cangkir di meja dengan sedikit membungkuk, aku merasa Mas Narto menatapi dadaku. Aku kembali ke tempat dudukku semula, jadi kami duduk bersebelahan. Kami ngobrol, kebanyakan bercerita masa lalu yang manis.
Tiba-tiba Mas Narto mencengkeram kedua lenganku.
"Ipeh.." matanya tajam menatapku.
Aku diam deg-degan. Mendadak tanpa kuduga Mas Narto mencium bibirku. Nekat juga ini orang. Beberapa detik aku merasai lumatan bibirnya di mulutku, lalu aku berontak, kudorong tubuhnya.
"Mas..! Sadar engga sih kamu..!"
"Pah.. Mas nggak bisa ngelupain kamu, hanya kamu wanita satu-satunya di hatiku."
"Ipeh tahu Mas, tapi sekarang Ipeh milik Bang Mamat.."
"Berilah aku kesempatan buat melepas rindu, Yang.." katanya lagi.
"Mas.. Ipeh isteri orang lho.. nggak boleh gitu dong."
"Sekedar melepas kangen, Yang..?" katanya sambil mendekat lagi.
Tahu-tahu bibirnya sudah mendarat di mulutku. Aku mengelak, tapi mulutnya terus mengejarku, tubuhnya memepet tubuhku. Tidak bisa lain aku menyerah. Kubiarkan bibirnya melumati bibirku. Tangannya merangkulku. Aku langsung teringat di sofa ini dia pernah juga mengulumiku. Kenangan yang indah. Mas Narto terus menciumiku, perasaan nikmat mulai menjalar. Tidak boleh berlanjut. Kudorong lagi tubuhnya. Mas Narto makin memperketat pelukannya. Tangannya mulai meremasi dadaku. Percuma saja aku berontak, Mas Narto lebih kuat. Lagi pula aku mulai menikmati serangannya setelah jari-jari Mas Narto mengelusi puting dadaku.
Oh.. dia telah membukai bra-ku..! Harus stop, tidak boleh berlanjut. Tapi rasa nikmat manjalar di dadaku dan terus ke bawah, dan aku basah..! Oh.. Mas.. jangan mulai! Aku bisa tidak tahan. Aku memang sedang kehausan. Tapi bukan begini, aku bukan isterimu. Entah bagaimana tadi, kenyataannya aku sekarang telah rebah di sofa dengan dada telanjang. Mas Narto menindih tubuhku sambil terus menghisap-hisap puting dadaku.
Kurasakan Mas Narto sekarang berbeda. Dulu cumbuannya begitu romantis, halus, kini nafsunya yang lebih kentara. Bahkan rokku telah tersingkap. Pinggulnya telah menindih selangkanganku. Tubuhnya telah bergoyang-goyang. Selangkanganku merasakan kerasnya gesekan batang penisnya, walaupun masih ada beberapa lembar kain di antara kelamin-kelamin kami. Aku makin basah. Tubuhku mulai terangkat, rasanya..
Sekonyong-konyong Mas Narto bangkit gugup. Aku ikut bangkit, kulihat dari kaca jendela dua orang kawannya sedang menuju ke arah kami. Celaka! Mas Narto dapat dengan cepat berberes, karena pakaiannya memang belum terbuka. Tapi aku..? Membereskan bra, menutup kancing blouse, mana sempat..?
"Masuk aja.." bisik Mas Narto.
Setengah berlari sambil tangan menutupi buah dada, aku masuk ke ruang tengah, lalu langsung ke kamar. Aku menenangkan diri. Napasku masih tersengal, gemetaran menahan sesuatu. Kurang ajar. Dibikinnya aku tinggi, lalu dilepaskan. Hhh.. rasa menggantung memang tidak nyaman. Aku ingin 'diselesaikan'. Aku butuh waktu beberapa saat lagi untuk menurunkan nafsuku yang terlanjur naik.
Ketika Bang Mamat pulang, entah kenapa aku jadi salah tingkah. Aku tidak berani menatap matanya. Aku merasa bersalah. Kenapa aku tadi membiarkan Mas Narto meremasi dadaku dan lalu menghisap-hisap putingnya? Bukankah semua yang ada dalam diriku (termasuk kedua buah kembar ini) sudah menjadi milik Bang Mamat? Tapi Mas Narto lebih dulu memacariku dan aku dulu mencintaiku. Ah itu hanya alasan pembenaranmu saja Pah! Tapi toh tidak terjadi apa-apa antara aku dengan Mas Narto, tidak lebih dari hisap-hisapan. Itu juga tidak seharusnya kamu lakukan. Pokoknya tidak boleh ada pria selain Bang Mamat yang boleh menyentuh tubuhmu. Tapi Bang Mamat jarang menyentuhku. Itu juga bukan alasan! Baiklah, aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Oh, semoga Bang Mamat tidak tahu perubahan perilaku ini.
"Mas jahat begitu sih," omelku begitu esoknya Mas Narto menelepon lagi.
"Sorry Yang.. habis kangen banget sih."
"Mas memang suka ganggu isteri orang ya?"
"Ampuun.. engga lah. Sama sekali engga pernah. Mas engga ada maksud mengganggu isteri orang. Kemarin itu Mas hanya melepaskan rindu sama kekasih."
"Huh.. dasar..!"
"Mas ke situ sekarang ya, Yang..?"
"Jangan..!"
"Pokoknya Mas mau ke situ. Tunggu ya, daag."
Telepon ditutup. Nekat benar.
Giliran aku yang cemas. Konflik antara menolak kehadiran Mas Narto karena ingin setia, dengan keinginan mengisi kesepian sambil mengulang kenangan manis. Antara menolak dan menginginkan. Mungkin terlambat untuk menolak. Mas Narto sekarang sudah duduk di sofa sebelahku. Kali ini dia datang sendirian, dan pandai memilih waktu. Saatnya anak-anak kost sedang kuliah, Ayah dan Ibu pergi dan Si Randi dibawa baby sitter main ke tetangga. Dia juga pandai memanfaatkan waktu dengan efisien. Menolak kubuatkan minum tapi langsung mencumbuiku di sofa. Entah setan mana yang membujukku untuk menyambut lumatan bibirnya dengan lumatan pula.
Mas Narto makin 'ganas'. Tubuhku ditindih dengan ketat, seluruh mukaku diciuminya, lalu leherku. Dengan agak kasar dibukanya dasterku, lalu direnggutnya bra-ku. Mulutnya dengan rakusnya melumati kedua buah dadaku bergantian kanan kiri. Lalu turun ke perutku, pusarku dijilatinya. Terburu-buru dia membuka celana dalamku. Eh..! Aku membantunya dengan mengangkat pantatku. Dan.. oh..!
Mengapa aku memberikannya? Bagaimana dengan janjiku kemarin? Mengapa aku mengijinkan lidahnya menari-nari di sekitar klit-ku? Karena membuatku terbang melayang di angkasa? Kalau kemudian aku mendesah, melenguh, dan merintih-rintih, itu biasa. Tapi, di tengah rintihanku aku minta Mas Narto untuk segera masuk, adalah luar biasa bagiku. Kenyataannya memang begitu.
Hanya dalam beberapa detik Mas Narto telah bugil. Pemandangan yang telah biasa kulihat. Waktu pacaran dulu aku sering mengelus-elus penisnya yang kini sedang menuju ke selangkanganku. Saat-saat awal masuk inilah nikmatnya. Dari kondisi basah, 'hampa', dan melayang tidak tentu, menuju pada kondisi 'terpenuhi' dan pinggul mendarat kembali ke bumi, dengan 'masa transisi' berupa simulasi-simulasi nikmat pada dinding-dinding vagina.
Masa pendaratan tidak lama. Ketika pinggul Mas Narto naik-turun, aku kembali melayang-layang. Mas Narto memang keterlaluan. Kedua tangannya menyusup di bawah punggungku lalu mengunci tubuhku, dan dengan demikian dia bebas menyodokku dengan hentakan tanpa kudapat 'mundur' apalagi menghindar. Tapi untuk apa mundur dan menghindar kalau hentakan tadi malah menambah sensasi kenikmatan?
Untunglah, walaupun dalam keadaan melayang-layang begitu aku sempat ingat satu hal. Sehabis suatu sodokan, kedua tangan dan kakiku mengunci tubuh Mas Narto sebelum dia menarik pinggulnya kembali.
Kupeluk, kubisikkan dekat kupingnya, "Jangan keluarin di dalam."
Mas Narto mengangguk-angguk, lalu memompa lagi begitu aku mengendurkan kakiku. Omonganku masih didengar, Mas Narto menepati janji.
Ditumpahkannya seluruh maninya ke atas perutku. Banyak. Semoga dia tidak telat mencabutnya. Aku memang sedang 'polosan', tidak memakai proteksi apapun.
***
Aku mengurung di kamar sendirian, menangis terus. Aku benar-benar berdosa, merasa diriku ini kotor. Aku telah membiarkan Mas Narto, bekas pacarku, menyetubuhiku. Bodohnya, aku menikmatinya. Isteri macam apa aku ini? Cinta Bang Mamat yang tulus telah kukhianati, hanya karena dia akhir-akhir ini jarang menyentuhku. Bukankah sibuknya Bang Mamat untuk keluarganya, aku dan Randy? Oh.., aku hanya dapat menyesali dengan menangis terus-terusan.
Mengulangi suatu pengalaman yang memberikan rasa nikmat memang sifat manusia dan setan ada di mana-mana. Beberapa kali Mas Narto menelpon mau datang, telah berhasil kutolak. Untung aku punya alasan kuat, Ayah atau Ibu sedang ada di rumah. Tapi pembicaraan teleponnya pagi ini membuatku tidak kuasa untuk menolak.
"Aku kangen Pah, pengin ke situ."
"Ada Ibu Mas, lagian baby siter ngasuh di rumah."
"Kita jalan-jalan ke luar aja yuk..!"
"Kemana Mas?"
"Ya.. kemana aja lah. Aku jemput ya..!"
"Engga enak Mas, ada Ibu."
"Ketemu di X aja," katanya menyebut nama restoran beberapa meter dari rumah.
"Males ah," sahutku.
Masa aku perempuan muda menunggu cowok di restoran, nanti apa kata pengunjung restoran? Belum lagi banyak yang kenal.
"Pah, aku mohon kita bisa ketemu. Mungkin ini pertemuan untuk perpisahan."
"Kenapa gitu?"
"Minggu depan aku pindah tugas ke X," jelasnya.
Ke Kaltim? Oh, jauh amat. Tiba-tiba aku merasa kehilangan. Baiklah aku mengalah.
"Oke Mas, kita ketemu di X aja," kataku menyebut nama shopping center, beberapa menit dari rumah dengan kendaraan umum.
"Makasih, sayangku."
Satu jam kemudian aku sudah di dalam mobil Mas Narto yang dipacu ke arah Jakarta.
"Aku ingin pertemuan kita ini punya kesan yang mendalam," katanya.
"Ke mana kita Mas..?"
"Ke tempat yang berkesan."
"Apa itu..?"
"Nanti kamu tahu."
Bersambung . . .
No comments:
Post a Comment