Malam itu sangat indah, sampai membuatku ingin menghentikan waktu agar dia tidak bergeming dan bisa kutatap selama mungkin. Dia.. dia adalah tetanggaku sendiri, mari kuceritakan lebih lengkap. Namaku Erlan 22 tahun, beratku kira-kira 60 kg dan tinggiku 172 cm, peristiwa terindah yang pernah kedapatkan saat itu adalah sewaktu aku dipindah tugaskan ke kota Makassar sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan distributor swasta di Surabaya, mereka selalu mengadakan Exchange Employee tapi masih tetap di dalam negeri.
Pindah ke kota Makassar membuatku agak pangling, semua saudaraku sekolahnya di Jawa, bahkan ada juga yang setahun di Jepang, kok aku malah ada di kota ini. Maklum saya lahirnya di kota ini juga, katanya memang sudah rencana mau disebar-sebar benihnya. Kata Bapakku anak layaknya sebuah buih yang bisa dilontar dan terlontar sendiri, sampai sekarang aku tidak mengerti maksudnya. Sudahlah pikirku, lebih baik aku segera ke rumah bibiku.
Setelah keluar dari pelataran parkir bandara, sesegera mungkin saya hampiri tukang ojek di seberang jalan, setelah negosiasi sedikit_berjuang agar sewanya semurah mungkin_akhirnya kami sepakat dan dia akan mengantarku ke jalan yang saya maksud. Sesampaiknya di sana, ternyata daerahnya sangat hijau, tidak seperti dalam hayalanku, dimana kaleng dan paku bisa menoreh sol sepatu karena di tengah jalan bertebaran sampah, tapi malahan waktu saya turun ada nenek-nenek menyambut dengan gembira lalu memelukku dengan sangat sangat erat_saat itu saya masih lucu-lucunya dan agak pemalu dengan orang asing_saya pikir dia salah orang, nyatanya setelah apa yang ia ucapkan padaku ternyata dia itu bibiku sendiri, dan aku tidak menduga kalau bibiku sudah setua ini atau kelihatannya saja wajahnya peot karena keriput.
"Nak Erlan! Iiih, keponakan tante udah gede' yah. Aduh, kok naek ojek sih? Naik taksi kek."
"Menghemat bi" Jawabku sambil menunduk
"Hemat opo! Masuk yuk, udah ditungguin dari tadi lho. Aduuh.. anak tante cakep bener sih."
Kemudian saat saya masuk ke dalam, giliran kakekku yang memelukku_entah dia kakekku yang keberapa_ lalu datang bibi yang satunya lagi, malahan ada anak gadis yang lompat dan sepertinya malah merogoh saku bajuku dan dilontarkannya kalimat rutin seorang anak kecil
"Om! Bagi dule doetta' (uang), sudah meki gajian to?"
Beginilah keluarga yang hidup di dua peradaban, aksennya selalu bercampur.
Sorenya, saya duduk di beranda bersama bibi Ati. Sekalian melemaskan otot dan menghilangkan pegal karena dipeluk secara beruntun. Kami mengobrol ringan mengenai keadaan Bapak dan ibuku serta semua Adik-adikku di Surabaya karena kebetulan saya anak sulung_dan kata bibi Ati masih tetap manja_bibi malah menyinggung kalau dulu saya sering dikelonin olehnya waktu kecil. Kata-kata ceriwis bibi Atik selanjutnya cuma numpang lewat di sekitar telingaku tatkala saya melihat seorang anak muda di rumah sebelah yang kiranya sebaya denganku. Ia bertelanjang dada duduk di terasnya dan bermain gitar dengan asik. Ia melantunkan lagu dengan melodi agak cempreng sambil menggerak-gerakkan kepalanya maju mundur.
Rasa-rasanya saya sangat mengenal dengan wajah yang satu ini, walau ia tidak terlalu tampan, tapi dia berbadan atletis dan sangat seksi pikirku, entah angin apa yang membuat mataku tak hentinya terpana. Sebenarnya saya pilih-pilih juga dengan teman, apalagi teman pria_tapi yang satu ini lain sekali_kulitnya agak legam dan raut wajahnya sangat akrab dengan pandanganku.
"Bi, liat anak itu tidak?" Seraya menunjuk ke arah remaja yang kumaksud.
"Oo.. itu den, anaknya Pak Samsul, masa' lupa to" Jawab bi Atik sambil menepuk pundakku.
"Pak Samsul siapa?"
"Itu rumahnya, tetangga itu loh, namanya Andre, teman main kamu dulu waktu SMP."
Saat itu pula aku melongo dan kembali memperhatikan anak muda itu lagi, aku tidak bisa percaya, dia itu Andre. Aku jadi tidak habis pikir_Andre yang dulu kukenal sangat kurus dan putih seperti menderita penyakit Albino_kenapa sekarang berubah 180 derajat.
Karena kepikiran terus, esoknya sewaktu saya akan berangkat kerja, saya melihatnya di depan rumah sedang memanaskan mesin motor Shogun-nya, kurasa itu saat yang tepat untuk menyapa.
"Hei." Tegas saja sambil berdiri di hadapannya, dan ternyata ia juga malah melongo, "Masih ingat gak?".
"Siapa ya Mas?" Balasnya.
"Gua Erlan, ingat gak?"
Lama ia berpikir sambil menatapku lekat-lekat_sampai-sampai aku gugup dan malahan melepas senyum_akhirnya ia menggerak-gerakkan telunjuknya seraya berkata..
"Erlan! Wah-wah-wah, kenapa baru datang? darimana saja-ki? Pake dasi lagi, ck-ck-ck." Ketusnya ditambah pertanyaan yang tidak perlu dijawab.
"Ah tidak, biasa. Masih sekolah ya?"
"Sudah lulus Mas, baru-baru ji."
"Oh iya, nanti ambil oleh-oleh di rumah ya."
"Oh, iye'."
Kemudian ia menawarkan diri untuk mengantarku ke kantor dengan motornya, entah apa yang membuatku merasa sangat bahagia. Mungkin karena hanya bertemu teman lama atau bertemu teman kecil yang jauh berbeda penampilannya.
Pukul 2 siang saat itu, saya sedang makan siang di warung nasi di depan kantor, walau saat itu belum selesai urusan kantor, tapi badanku sudah sangat pegal, tambah lagi badan penuh keringat karena harus mondar-mandir mengecek faktur tiap redaksi. Lalu terlihat seorang anak muda yang sepertinya kukenal menunggu di pintu gerbang kantorku, ternyata dia Andre, dia memakai jaket hitam walau di hari sepanas ini. Kemudian aku pergi menyapanya.
"Dre, ngapain?"
"Oh-Mas, belum peki' pulang?" Tanyanya
"Belum, pekerjaan pada belum kelar, tapi Mas capek juga nih."
"Jadi Mas?" Tanyanya lagi
"Tunggu sebentar yah."
Segera kuraih tas kulitku dan naik ke motor Andre
"Pulang yuk, mau istirahat dulu deh."
Tanpa basa-basi Andre segera memutar gas dan menuju ke rumah.
Sore itu juga saya main ke rumah Andre, tanpa berganti baju dulu, entah kenapa lagi aku ini, malah langsung ngomong aja kalo mau main ke rumahnya. Tapi Andre OK-OK saja, lagipula dia juga senang kalo ditemanin, katanya liburannya selalu membosankan. Kami langsung masuk ke kamarnya, katanya dia punya kamar mandi sendiri, jadi saya bisa sekalian membersihkan diri di sana. Yang membuatku tertarik adalah walpaper dari layar monitor yang ada di kamarnya, dia adalah Casilas, seorang kiper yang berwajah good looking_di close up lagi_tambah lagi kamarnya penuh poster bintang film barat papan atas, dan semuanya pria. Karena mulai curiga, saya segera membuka menu favourites-nya dan ternyata betul dugaanku, tiba-tiba Andre datang membuka pintu dan membawa segelas air, tampaknya ia agak kaget melihat tanganku berada di mouse komputernya.
"Oh, lupa dimatikan. Permisi Mas, saya matikan dulu." Lagaknya berpura-pura.
Saat itu pula kegembiraan yang sangat aneh merangsek masuk ke dalam otak-hati-paru-paru seluruh organ tubuhku malah bergelinjangan. Libidoku naik melejit, sampai akhirnya aku berpikir .. kenapa denganku ini?
Saat itu ruanganya agak panas sehingga bau badanku menyebar dengan cepat, Andre sekarang malah terlihat agak gugup dan bernapas berat. Sambil beranjak aku meminta ijin padanya untuk memakai kamar mandinya, melihat gelagatnya yang tertunduk terus, sesekali mencuri pandang, aku jadi mulai kasihan, sepertinya dia pemalu dan menginginkan agar lawannya yang agresif padanya. Lalu aku mulailah menggodanya, aku melucuti pakaianku satu persatu di hadapannya, mulai dari kemejaku hingga singletku. Tak pelak lagi matanya melotot tapi ia berusaha menutupinya.
"Andre, kamu mau lanjutnya di Universitas mana?" Tanyaku mencairkan suasana
"E.. em.. di.. di UnHas Mas.. kaloo.. kalo saya mampu.." Jawabnya tergagap
"Loh.. (sambil berjalan mendekatinya) mampu bagaimana? Belajar toh, supaya bisa masuk program kedokteran." Tegasku sambil melepas ikat pinggang.
"Iya.. ngerti.. kok.. kok malah menggurui, Mas.. Mas.. kaya itu.. kaya' Bapak saja.."
"Ha.. ha.. ha.. apanya yang kaya' Bapak, kamu itu yang manja!"
Sepertinya nafasnya sudah kelewat berat, sampai sesekali kudegar dia berdesah. Mungkin dia terangsang melihat badanku yang lumayan terbentuk karena sering fitnes tiap minggu. Makin kulihat dia salah tingkah, aku sepertinya semakin senang, wajahnya jadi sangat manis kalau dia berlagak tidak ada apa-apa tetapi nyatanya dia tersipu malu. Saya menikmati permainan merangsang ini, sayapun mengambil handuk yang tergantung tepat dibelakangnya.
"Boleh Mas pinjam handuknya enggak?"
Ia menjawab dengan mengangguk saja dan tidak berani menatapku. Kemudian aku memberanikan diri untuk duduk di sampingnya, ia masih tidak bergeming.
"Indra.. kamu pernah ngisap punya orang?"
Indra menjadi terkejut mendengar kata-kataku, ia menjadi kikuk.
"Mau ngak kalo Mas minta diisepin?" Tanyaku lagi
"I.. Isap.. Isap apa Mas? Mas suka bercanda ya?"
"Ayolah Indra, Mas juga mau ngisap kok.." Tanpa banyak bacot lagi, segera kuraih tangannya dan menaruhnya di atas batang keperkasaanku yang masih terbungkus celana dalam dan celana kolor. Penisku sudah menegang dan memaksa keluar. Akhirnya Indra yang gemetaran akhirnya mengalah juga. Malahan dia yang langsung saja lompat ke arahku seperti anak kecil, dengan brutal ia menciumi bibirku, sayapun terjengkang pasrah ke kasur air yang empuk. Indra yang tadinya begitu pemalu sekarang malah menjadi seekor singa jantan yang sangat ganas permainannya, dia menjilat-jilati seluruh wajahku, telinga, lalu turun ke leher sambil kedua tangannya tidak henti-hentinya mengelus punggungku.
"Aah.. ahh.. Indra, bajunya dibuka dong, Mas mau juga ngisap nih.. ahh.." Pintaku sambil meronta menelan seluruh kenikmatan setiap jilatannya di tubuhku. Indra masih terus menjilati tubuhku, sambil melepas baju kaosnya ia menciumi bibirku, kami saling bertukar liur dan sesekali dia menggigit gemas bibir atasku.
"MmhHPp.. Mas, ini bukan mimpi kan Mas.. mmhHPp.."
Indra kemudian mengangkat kedua tanganku, ia menjilati kedua ketiakku, ke kiri lalu ke kanan berulang kali tidak puas, ia meninggalkan ketiakku dan menlanjutkannya ke bawah menyususri otot-otot tubuhku. Indra dengan tidak sabarnya menarik celanaku dan terlihatlah CDku yang berwarna hitam, dengan ukuran penisku yang lumayan besar tapi panjang itu, celana dalamku sekarang menjadi sangat sesak. Indra mengendusnya terlebih dahulu lalu dengan liar ia menarik CDku sehingga_jreng_batangku tegak berdiri di depan matanya. Dengan lembut ia mengulumnya sambil tangan kirinya mengocoknya sekaligus. Nikmat sekali rasanya, sesekali dia menggigit nakal dan memainkan lidahnya di kepala penisku. Indra tahu sekali memanjakan pasangannya sehingga membuatku mengerang menahan nikmat yang tiada batasnya.
"Aahh.. aahh.. Indra, Mas mau juga dong.. aahh.."
Indra tiba-tiba menghentikan semua permainannya, ia bangkit sembari melepas seluruh kain pembungkus tubuhnya sehingga tampillah di depanku seorang Indra yang bugil dan sangat seksi dengan tubuhnya yang berkilap diterpa cahaya senja_tambah lagi penisnya exstra large dan berwarna gelap serta dilengkapi rambut yang lebat_ aku kembali terangsang dan sesegera mungkin kuraih batangnya yang super besar itu, "Uukkhh" mulutku terlalu penuh, tapi Indra terlihat menikmati kulumanku. Segera saja kekenyot dengan ganas, Indra mengambil posisi agar ia juga bisa mengisap penisku. Kami saling mengisap hampir selama setengah jam dan diiringi suara gemericik air yang membangkitkan gelora.
"Aahh.. mmpphh.. mmpphh.. Mas, Indra mau digagahin.. aahh.." Pintanya manja.
Akhirnya kuhentikan permainan dan segera bangkit lalu menyuruh Indra melakukan hal yang sama, kami turun dari ranjang dan kusuruh dia bersandar di tembok, saat itu kami saling bermesraan, kami saling menjilat, mencium, dan mengelus satu sama lain, sensasi yang hangat dan nikmat saat kulit kami saling bergesekan, Indra sangat menyukai daerah di tubuhku yang berkeringat, ia pasti menjilatinya dengan lahap.
"Mmpphh.. Mas, cepat Mas, Indra mau digagahin.. aahh.."
"Sabar sayang, Mas juga pengen kok." Sebelum ketusuk lubang analnya, aku juga ingin menikmati setiap inchi dari tubuhnya tanpa melewatkan sedikit pun. Wangi maskulinnya sangat tajam dan membuatku melawang di awang-awang.
Puas mencumbui tubuhnya, dia pun kusuruh membalikkan badannya.
"Mas, cepat Mas, Indra tidak tahan Mas."
Tanpa diminta pun, segera kujilat lubangnya yang nikmat itu, kuputar-putarkan lidahku di dalamnya. Lalu kutusukkan jari telunjukku sekalian, dan kumaju-mundurkan.
"Terus Mas, terus, lagi Mas, oohh! Ohh!" Indra bergelinjangan.
Kelihatannya dia sudah cukup sering bersenggama, lubang analnya sudah cukup terlatih untuk disodomi. Langsung saja kutancapkan penisku dengan perlahan, mungkin karena kelamaan, Indra beralternatif memundurkan pantatnya dan memaksa penisku masuk hingga hampir seluruhnya tertanam. Bleess!
"Oohh", Erangku menahan kenikmatan yang telah lama kunantikan.
Hari mulai gelap, ketika kami masih saja saling berbagi kasih. Indra yang sangat menikmati permainan ini sudah basah kuyup. Keringat bercucuran, tapi Indra mesih terus bergairah menggerakkan pantatnya maju-mundur.
"Mas, bilang yah kalo udah mau keluar, Indra mau mimi'in."
Selang beberapa detik setelah permintaannya itu, segera kucabut penisku dari anusnya. Indra dengan nafsunya melahap penisku dan kembali mengulumnya dengan lembut.
"Aahh.. hh.. oohh.." Lenguhanku semakin tidak teratur, akhirnya aku memuntahkan lava putih dan diminum habis oleh Indra tanpa sisa.
"Oohh.. Indra.. masa cuma kamu yang kebagian, Mas minta juga dong."
Tanpa pikir-panjang lagi Indra menawarkan penisnya yang sudah memerah ke hadapanku, ia mengocoknya dan.. croot-croot-croot, sebanyak lebih dari lima kali semprotan yang memuntahkan mani hangat yang langsung kusantap habis saat itu.
Kami berdua betul-betul kehabisan tenaga, selama hampir 2 jam kami bersenggama. Akhirnya Indra mengajakku mandi bersama, dan asiknya lagi ternyata dia punya bathtub yang mewah. Kami saling membersihkan diri, saat itu kembali Indra yang paling agresif menciumi tubuhku saat di bawah pancuran.
"Mas, cakep deh, Indra suka sama Mas.." Ngaku Indra saat ia bersandar di dadaku waktu berendam di bak mandi.
"Mas Erlan juga sayang sama Indra, ingat gak waktu SMP dulu?"
"Ingat Mas, kan Mas yang nunggangin Indra waktu rumah lagi sepi, di kamar mbok kan?" Jawabnya jujur
"Indra mau tidak jadi pacar Mas?"
"Mau Mas, mau, asal Mas jangan pacaran sama cewek yah, janji yah."
"Iya-iya, Mas cuma sayang sama Indra kok."
Malam itu kami berdekapan dan membuat sebuah memori, memori yang akan dikenang seumur hidup. Entah jika kebahagiaan itu akan pergi, tapi Indralah yang paling berharap penuh. Semoga dia tidak kecewa suatu hari nanti, karena pada akhirnya, perjalanan ini akan mendapati jalan buntu. Setelah kejadian hari itu, Indra menjadi sahabat sejatiku yang selalu berbagi suka dan duka sekaligus menjadi pacarku yang setia.
Tamat
No comments:
Post a Comment