Tubuh polos kami tumpang tindih bagai tidak mau lepas. Nafasnya ngos-ngosan bagai kuda habis berpacu. Dua jam lebih kami berpadu nafsu, bersatu raga. Masih sekitar pukul sepuluh malam waktu ini, padahal prosesnya masih akan berlangsung hingga subuh. Proses apa lagi yang akan kujalani selama enam jam berikut?
"Mari kita membersihkan tubuh, Sur.." ajak Mbah Purwo.
Aku mengikuti langkahnya.
Bagai seorang anak kecil, ia memandikanku dengan air kembang mawar. Menyiramiku. Menggosok seluruh tubuhku dengan kembang. Menyabuni tubuh telanjangku. Lalu ia menyuruhku melakukan hal yang sama terhadap dirinya. Kusirami. Kugosok dengan kembang. Kusabun. Kemudian kurasakan ia memegang tanganku yang masih sibuk menyabuni dadanya. Membawanya turun dan terus turun hingga sejengkal di bawah pusarnya, lalu ia memintaku menyabun bagian itu secara khusus. Rasanya belum lama, namun benda ajaib itu telah bergairah lagi. Menantang. Pelan tubuhku terdorong ke dinding. Rapat. Dan kian rapat tubuh itu melekat ke tubuhku. Tangannya mengelusku. Membelaiku, dan perlahan mengangkat paha kiriku.
"Iihh..!" aku terpekik ketika ia telah memasukiku.
"Ap.. apa ini juga salah satu syarat, Mbah?"
"Bukan, Sur. Tapi kau tak keberatan menampung hasratku lagi, kan?"
"Uuhh.. gila!" aku melenguh.
Pelukannya mengetat. Tubuhku semakin tergencet ke tembok.
"Apa yang tadi masih belum puas, Mbah?" aku coba mengelak.
"Tadi masih belum apa-apa, Sur. Dengan Paku Bumi, aku sanggup bersenggama dua hari dua malam tanpa henti."
"Hah! Egh!" Aku terkejut.
Bersamaan dengan itu, ia menerjangku kuat-kuat sampai tubuhku terangkat. Kupagut pundaknya sambil coba meronta. Namun tubuhku bagai terpasak di tembok porselen. Terlonjak-lonjak mengikuti irama gerakannya. Irama yang membius sehingga penolakanku pelan-pelan padam. Aku berhenti meronta dan malah senang karena merasakan kenikmatan gaya lain yang bakal kualami lagi. Malam ini benar-benar surprise buatku. Kini aku percaya kebenaran kata-katanya bahwa aku punya nafsu besar. Buktinya, aku mampu menerima perlakuan seks Mbah Purwo yang gila-gilaan ini!
Tubuhku dipegangnya. Dilontarkannya ke atas ke bawah. Sesuatu menusuk-nusuk di bawah perut menimbulkan keasyikan tersendiri bagiku. Dalam posisi tetap demikian, ia berjalan menuju ke kamar. Tidak perduli tubuh kami belum kering benar. Aku membeliak-beliak dan memeluk kepalanya erat. Merasakan sensasi yang luar biasa.
"Ak.. aku mau keluar.." desahku.
"Tahanlah sebentar, Sur. Aku belum apa-apa.."
Dia duduk di tepi ranjang. Lalu menjatuhkan dirinya, sehingga posisiku sekarang menelungkupinya. Entah bagaimana caranya, dengan cepat kemudian kurasakan ia mengubah posisinya menjadi di atasku. Di atas punggungku. Pahaku dikangkangkannya ke kiri kanan, diangkatnya, lalu sigap kembali disergapnya.
Ufh.., lagi-lagi aku merasakan pengalaman baru bersebadan dengan cara ini. Diserang dari belakang! Seumur hidup baru kali ini kualami. Aku yang orang kampung, mana pernah membayangkan hubungan gila semacam ini. Seperti anjing kawin! Tapi lama-lama aku menikmatinya juga.. Bahkan mampu memberinya respons dengan gerakan maju-mundur.
"Ufh.., terus.. terus, Sur. Kamu hebat.." suaranya sambil memegangi pinggangku.
Disusul kemudian remasan-remasannya yang menambahku semakin bergairah. Dalam posisi seperti anak kecil main kuda-kudaan itu, akhirnya aku menyerah lagi. Badanku berkejat-kejat. Lututku lunglai. Tubuhku pun luruh kembali ke tilam. Tidak menunggu lama, Mbah Purwo kembali menelentangkanku. Lalu pasak dan cangkulnya pun giat bekerja lagi. Menusuk. Mengebor. Menggoyang. Membuatku melayang-layang lagi. Gila!
Satu jam lebih ia memperlakukanku sesuka hatinya dengan cara-cara yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Sebagai orang kampung aku selama ini memang tidak tahu banyak variasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kepuasan. Yang kutahu hanya posisi pada umumnya, dimana pria di atas dan wanitanya di bawah saling tidur berhadapan. Itu saja. Barulah bersama Mbah Purwo ini kurasakan berbagai gaya, berdiri, lewat belakang, tidur miring, duduk berhadapan, dipangku, digendong, berjuntai telentang hingga menyentuh lantai dan lain-lain gaya. Rata-rata semuanya memberiku sensasi kepuasan yang dahsyat. Terlebih dia bagaikan memiliki tenaga sepuluh ekor kuda yang tanpa kenal lelah berlari, dan terus berlari tanpa henti sebelum mencapai garis finish. Hingga kami terkulai bersama.
"Sudah Mbah, cukup," bisikku antara sadar dan tidak setelah melihat dia ikut terkulai di sisiku.
Aku hampir tidak mampu bergerak lagi. Luluh lantak tubuh ini. Seperti hampir pingsan.
"Ya, Sur. Kita istirahat sebentar. Nanti tepat tengah malam kita lanjutkan proses Satu Raga di luar rumah. Tidurlah dulu nanti kubangunkan."
Kupejamkan mata. Samar-samar sebelum terlelap, kurasakan Mbah Purwo memelukku. Kelelahan membuatku tidak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa lama aku tertidur, namun ketika bangun, kurasakan sesuatu mengelus-elus bahkan seperti menjilat-jilat bawah pusarku.
"Iiihh.. binatang apa ini?" aku terkejut sambil secepatnya berupaya menghindar.
Namun sekejap saja dua tangan kokoh menahanku. Tahulah aku, ternyata Mbah Purwo lah yang tengah melakukan itu. Yang terlihat hanya kepalanya ada di pangkal pahaku dan kedua tangannya mementang kakiku.
Dalam rasa lelah, kembali kunikmati rasa menggelitik itu. Dan perlahan bangkit pula birahiku merasakan lidahnya yang nakal semakin nakal dan dalam. Aku tidak bertahan lama. Untuk kesekian kalinya.., "Suurr.. suurr.. suurr.." dan tubuhku menggigil gemetaran. Terasa aku dihisapnya. Dihisapnya berulang-ulang. Sampai cairan tubuhku kering!
Rupanya selama aku tidur pun laki-laki maniak ini tidak berhenti menyalurkan hasrat birahinya. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan menikmati tubuhku yang hanya semalam di rumahnya. Oh.., kalau demikian, sudah berapa banyak tubuh wanita yang dinikmatinya? Mungkin dia dapat disebut laki-laki abnormal. Tapi ia pun tidak mungkin melakukan ini kalau tidak ada respons dari si wanitanya, seperti aku.
Ya, andai saja aku tidak mau menerima kemampuan Satu Raga, sudah pasti kebinatangan ini tidak akan terjadi. Aku tidak dapat menyalahkannya. Aku juga ikut menciptakan kondisi ini. Dan mungkin juga wanita-wanita lain yang suka menggunakan bantuan dukun untuk mencapai keinginannya. Wanita yang demikian pastilah tidak segan menggunakan berbagai cara untuk meraih hasratnya, termasuk mengorbankan tubuhnya. Kehormatan tidak ada artinya lagi. Toh yang tahu hanya dia dan si dukun itu.
Aku pun agaknya juga demikian. Tanpa terasa aku telah merendahkan kehormatanku sendiri, khususnya di depan Mbah Purwo. Aku rela menjual tubuhku demi keinginanku. Memang keinginanku sepertinya baik, yakni berupaya menyelamatkan diri dari serangan ilmu hitam Mbah Dipo. Namun cara yang kutempuh ternyata justru menciptakan kerugian pada diriku yang nilainya mungkin setara bila aku menderita kerugian karena ulah dukun hitam itu. Aku menghindari satu masalah, tapi justru masuk ke masalah lain yang serupa. Malah sekarang di depanku jadi ada dua masalah.
Yang pertama, masalahku dengan Mbah Purwo, karena aku telah mengikatkan diri padanya, bahkan telah ber-Satu Raga. Untuk menyalahkan dia jelas tidak mungkin, karena ini berarti membuka aibku sendiri yang telah rela menjual kehormatan diri. Yang kedua, masalahku dengan Mbah Dipo tetap saja tidak sirna. Aku tetap terancam dukun hitam itu. Betapa bodohnya aku. Lamunanku itu berlangsung selama Mbah Purwo "sibuk" memuasi diri di bawah pusarku. Lamunan itu sempat membuatku kecewa terhadap apa yang sedang menimpaku. Tapi perlahan akal sehatku menguap sewaktu membayangkan kenikmatan-kenikmatan birahi yang sudah dan sedang kureguk.
"Ah, persetanlah dengan semua lamunan untung-rugi itu. Aku telah kepalang basah. Tak mungkin mundur lagi!" teriak bathinku.
Maka kemudian kunikmati lagi hisapan-hisapan yang melambungkanku itu jauh tinggi ke awang-awang. Membuatku mampu menyemburkan lahar kembali. Mengucur deras dan semakin deras dinikmati Mbah Purwo. Yang mengherankan, dia seperti tidak pernah lelah, sementara aku sudah orgasme tiga kali. Berapa kali lagi ia mau menghisap cairan tubuhku?
"Augh.. sudah Mbah, cukup. Jangan keluarkan lagi.." kataku sambil memegang kepalanya yang masih terus bergerak-gerak membuatku kegelian. Dia menghentikan aksinya.
"Uh, enaknya. Kita akan awet muda kalau sering menikmatinya, Sur. Cairan tubuh lawan jenis dapat menjadi penetral cairan tubuh kita. Oh ya.. ini sudah hampir tengah malam. Ayo kita mandi dulu," ajaknya.
"Mbah saja duluan mandi.. Kalau sama-sama saya takut yang seperti tadi terulang lagi.."
"He.. he.. he.. Kenapa, kau tidak suka kenikmatan itu, Sur?" cuapnya sambil ngeloyor pergi.
Uh, sialan..!
Selama dia mandi, aku tetap telentang di atas kasur. Tubuh yang telah lunglai ini membuatku enggan bergerak-gerak. Hanya keinginan untuk segera menyelesaikan proses Satu Raga saja yang memaksaku bangkit membersihkan diri.
*****
Tikar besar terbentang di halaman. Rindangnya pepohonan melindungi kami dari pandangan luar. Kami duduk bersila di atasnya. Berhadapan. Sebuah pedupaan mengepulkan bau kemenyan di tengah-tengah kami. Mbah Purwo asyik berjapa mantera. Matanya terpejam. Mulutnya berkemak-kemik. Kalung berliontin kepala ular tergantung di lehernya, hingga mencapai dadanya yang berbulu.
"Angkat tanganmu, Sur..!" perintahnya.
Kedua tangan kuangkat. Kujulurkan tegak lurus dengan telapak menghadap kepadanya. Mbah Purwo melakukan hal yang sama. Ia menelusupkan jari-jarinya, sehingga jemari kami saling bertautan. Tanganku ikut bergetar. Asap pedupaan mulai membuat mataku pedih dan terbatuk-batuk. Baunya lama-kelamaan juga membuat pening.
Mbah Purwo mencengkeram tanganku makin kuat. Geremang mulutnya masih terus berlanjut, malah semakin deras manteranya. Perlahan aku terpaksa beringsut maju karena tertarik kekuatannya. Dia juga semakin maju. Pedupaan sekarang hanya beberapa sentimeter saja dari kaki kami. Aku mulai ngeri kalau sampai menyentuh benda panas itu. Beruntung akhirnya ia menghentikan mantera dan gerakannya. Disingkirkannya pedupaan dari antara kami, lalu diambilnya segelas air kembang yang sudah disiapkan di sampingnya. Diminumnya beberapa teguk kemudian tanpa kuduga.. disemburkannya ke wajah dan tubuhku. Tentu saja aku belingsatan menghindar.
"Tidak apa-apa, Sur. Jangan menghindar. Sekarang lakukan hal yang sama pada diriku," perintahnya sambil mengangsurkan gelasnya padaku.
Dengan ragu-ragu kuterima. Kuminum beberapa teguk, lalu kusemburkan balik ke wajah dan dadanya. Rasakan pembalasanku ini, gerutuku di hati. Namun ia ternyata tidak bergeming. Sebaliknya, kembali meminta gelas dari tanganku dan.. menyiramkan seluruh isinya ke kepalaku. Sialan! Aku jadi basah kuyup. Apa dia tidak merasa dingin tengah malam begini diguyur air!?
"Letakkan tanganmu di pundakku, Sur," pintanya sambil beringsut maju, sehingga lutut-lutut kami saling bersinggungan.
Kuturuti perintah itu. Ia pun melakukan hal yang sama. Pundakku dijangkaunya sehingga mau tidak mau dahi kami pun nyaris bersinggungan. Kembali ia mengucapkan manteranya. Aneh, aku mencium bau harum keluar dari mulutnya. Harum melati. Oh, tidak hanya tubuhnya saja yang terasa manis, sampai nafasnya pun berbau harum. Sungguh hebat dukun satu ini. Ufh.. sekonyong-konyong bibirku sudah disergap dengan mulutnya! Kepalaku pun sudah dipegangnya. Kurasakan hawa hangat yang harum mengaliri mulut dan kerongkonganku. Rupanya ia tengah menghembuskan keharuman itu ke dalam diriku melalui mulut.
Aku manda saja. Malah seperti tidak sadar ikut memeluk kepalanya. Sambil duduk berhadapan, kami berciuman panjang dan lama. Beberapa kali ia menarik nafas lewat hidung dan menghembuskannya ke dalam mulutku. Perlahan kesadaranku semakin pudar. Hawa harum itu ternyata memiliki kekuatan membius.
Tahu-tahu ia telah menindihku lagi. Bibir-bibir kami saling melekat erat. Hawa harum itu terus memasukiku. Kesadaranku semakin hilang dan pudar. Mungkin seperti inilah yang dirasakan orang yang minum obat penenang atau ganja. Dunia jadi nampak indah sekali. Beban hidup tidak terasa berat lagi. Semuanya terasa ringan, melayang-layang. Aku serasa terbang tinggi di awan. Tinggi. Tinggi sekali.. Namun udaranya pun terasa semakin dingin. Dingin sekali seperti disiram air es. Menusuk tulang. Menggigilkanku.
Auh! Aku tersentak bangun karena rasa dingin dan tubuhku yang menggigil keras. Perlahan kesadaranku pulih. Kudapati tubuh telanjangku yang kedinginan di tengah malam itu menjadi bulan-bulanan permainan nafsu Mbah Purwo. Entah sampai kapan..
Tamat
No comments:
Post a Comment