Perkenalkan dulu, namaku Tuti. Kisah ini kutulis untuk Pembaca. Maaf barangkali kisah ini tidak tersampaikan dalam bahasa yang bagus, karena aku tidak mempunyai pengalaman sedikitpun dalam hal tulis-menulis dan olah kata.
Sampai aku lulus SMA. Pada saat itu aku dilamar seorang pria yang masih ada ikatan saudara, sebut saja Mas Adi. Mas Adi telah bekerja di kantor Telepon (sekarang PT. Telkom). Orangnya ganteng dan orangtuanya cukup kaya. Aku waktu itu baru berusia 19 tahun. Sebenarnya memang aku sudah naksir sama Mas Adi. Maka waktu aku dilamar, walaupun masih sangat muda, aku sih mau saja. Kupikir walaupun sekolah terus, toh nanti juga akan di rumah mengurus keluarga, karena Mas Adi tidak mengizinkan aku bekerja. Kasihan anak-anak katanya. Dan yang penting lagi, terus terang saja, aku sudah kepingin disetubuhi laki-laki. Kemaluanku sudah ingin dimasuki penis, penisnya Mas Adi. Akhirnya aku jadi dikawinkan dengan acara cukup meriah, dan sangat berkesan selama hidupku. Tentu saja yang paling penting, bagaimana setelah kami dikawinkan dan mengarungi hidup ini bersama Mas Adi.
Beberapa bulan sebelum perkawinan kami, dalam masa pacaranku yang singkat, aku mendapatkan pengalaman mengenai penis laki-laki. Pada hari libur aku dan Mas Adi sering berpergian berdua dengan sepeda motor. Tetapi pacaran kami yang nyerempet-nyerempet bahaya justru terjadi di rumah Mas Adi. Ciuman pertama berlangsung di gedung bioskop, waktu nonton berdua. Itupun belum dapat dinikmati betul. Tapi karena pertama kali rasanya luar biasa. Kalau untuk ukuran jaman sekarang, ciuman di bioskop itu rasanya lucu dan hambar. Kurang nafsu. Setelah menjadi suami istri aku sering diledek oleh suamiku mengingat ciuman di bioskop itu. Pertama kali aku melihat kemaluan laki-laki adalah punya Mas Adi. Hal itu terjadi waktu aku hanya berdua di rumah Mas Adi. Kami berdua ditinggal kondangan oleh orang tua Mas Adi. Kami berciuman sepuasnya dan Mas Adi meremas-remas buah dadaku dengan penuh nafsu. Karena nafsu semakin naik, Mas Adi sampai merogoh kemaluanku. Aduh rasanya takut-takut nikmat. Celana dalamku dipelorotkan sampai ke pahaku.
"Tut kamu pengin lihat punyaku nggak?" tanya Mas Adi. Aku diam saja, rasanya takut dan malu sekali. Tapi Mas Adi langsung membuka sarungnya dan melorotkan celana dalamnya. Aku kaget juga melihat penis Mas Adi yang tegang tegak berdiri. Kepalanya 'mbendol,' dan aku jadi teringat waktu aku melihat penis kuda waktu aku masih kecil. Kelihatan urat-uratnya menonjol di kiri-kanan batang penisnya. Tanganku dituntun Mas Adi untuk memegangnya. Aku segera menggenggamnya dan memijit-mijitnya. Aduuh, rasanya berdebar-debar sekali. Aku betul-betul telah memegang dan menggenggam penis laki-laki. Aku mengelus-elus kepalanya. Mas Adi menggeliat dan mendesis, "Aduuh geli.. Tuut", katanya. Saat itu kami hanya sampai memegang-megang saja. Kami belum berani bertindak lebih jauh. Itupun malam harinya aku teringat-ingat penis Mas Adi yang tegang dan besar. Apakah nanti muat kalau masuk ke vaginaku? Dan ini aku ketahui pada malam pengantin kami.
Setelah pesta selesai dan saudara-saudara telah pulang, baru terasa betul bahwa kami sangat capai dan mengantuk. Kami berdua masuk kamar pengantin kami. Karena sudah suami-isteri rasanya justru tidak malah santai dan tidak tergesa-gesa, tidak begitu menggebu-gebu untuk mulai bercumbu. Kami ganti pakaian, aku pakai daster dan Mas Adi pakai sarung dan kaos oblong. Kami berhadapan dan berciuman dengan mesra, saling meraba dan membelai. Entah siapa yang memulai, tahu-tahu dasterku telah terlepas, celana dalamku telah lepas pula, BH-ku telah jatuh. Mas Adi membuka sarung, celana dalam dan kaos oblongnya. Telanjang bulat berdua. Mas Adi sudah nafsu sekali. Aku dibaringkannya di kasur. Mas Adi menciumi seluruh wajah dan badanku dari atas sampai bawah. Tangannya berhenti di vaginaku, dielus, dibelai dikilik-kiliknya kelentitku. Liangku sudah basah. Tidak kalah semangat, penis Mas Adi kugenggam kuat-kuat dan kuelus-elus kepalanya. Mas Adi mulai menindihku, menciumiku. Ternyata berat juga!
"Sekarang, ya Tuut." Aku mengangguk. Kakiku aku kangkangkan, tangan Mas Adi memegang penisnya diarahkan ke vaginaku. Tangannya menuntun tanganku memegang penisnya. "Tolong dipaskan ke lubangnya Tuut", kata Mas Adi serak. Aku paskan kepala penisnya ke lubang vaginaku. Mas Adi menekan, nekan lagi, nekan lagi nggak masuk-masuk juga. Aku semakin takut, nafsuku justru menurun. Mas Adi membasahi kepala penisnya dengan ludahnya. Aku paskan lagi ke lubangku. Ditekannya, dan blees masuk kepalanya. Aku menjerit lirih. "Sakiit ya Tuut. Sakit yaa", bisik Mas Adi. Aku mengangguk. Ya Ampun penis Mas Adi baru masuk sepertiganya. Rasanya perih dan mengganjel sekali di liang vaginaku. Mas Adi menekan masuk lebih dalam, seret sekali. Nampaknya ludah Mas Adi hanya membasahi kepalanya saja, sehingga batangnya tetap kering. Kalau penisnya digerakkan rasanya sakit. Aku takut sekali. Kalau nanti sakit terus, lalu nanti gimana? Akhirnya aku menangis. Mas Adi kaget. Dicabutnya penisnya pelan-pelan dan aku diciuminya, "Aduuh, sakit sekali ya Tuut. Sudah-sudah dulu nggak usah diterusin dulu", katanya menghiburku.
"Nanti Mas Adi gimana kalau sakit terus", bisikku sambil memeluknya.
"Nanti, lama-lama kan nggak sakit. Sabar saja deh", hiburnya. Tapi aku yakin Mas Adi pasti kagok malam itu.
Ceritanya malam pengantin kami tidak selesai. Mas Adi gagal memerawaniku. Kami tidur karena memang capai dan mengantuk. Pagi-pagi bangun. Mas Adi berkata "Tuut, sarungku basah. Spermaku keluar sendiri semalam waktu kutidur." Nampaknya karena sudah nafsu sekali, dan persetubuhan kami tidak selesai, spermanya yang sudah siap muncrat akhirnya keluar sendiri waktu Mas Adi tidur. Kasihan Mas Adi. Pagi itu setelah mandi, aku masuk ke kamarku. Kemaluanku masih agak panas rasanya. Kulihat lubang vaginaku dengan cermin. Kulihat liangnya masih tampak rapat, Kelentitnya juga nampak jelas dan agak kebiruan. Kasihan Mas Adi. Aku berjanji malam nanti harus dapat diselesaikan.
Malamnya kami masuk kamar tidur sekitar pukul 21.00. Mas Adi langsung memeluk dan menciumku. Aku sudah siap-siap, sehingga tidak pakai celana dalam dan BH.
"Mas, ayo kita selesaikan Mas!" kataku. Mas Adi juga hanya pakai sarung saja. Dilepasnya sarungnya, dan dasterku disingkapkan ke atas sampai ke leherku, sehingga buah dadaku juga terbuka. Mas Adi sudah akan naik di atasku.
"Mas.. penisnya dibasahi sampai kuyup semua yaa. Sampai belakang ke pangkalnya, biar licin", kataku. Mas Adi diam saja, terus meludahi telapak tangannya dan dioleskan ke penisnya. Benar juga, penisnya relatif mudah masuk walaupun terasa mengganjel banget. Akhirnya masuk semuanya. Mas Adi mulai turun naik. Aku mulai menikmatinya. Makin basah, makin licin, dan makin nikmat, makin nikmat, makin nikmat. Mas Adi juga makin bersemangat mengocokku. Dia merangkulku, menciumiku. Penisnya terasa keluar-masuk vaginaku yang sudah semakin licin. Benar-benar penis itu rasanya nikmat sekali. Otot vaginaku makin berkontraksi menjepit keras penis Mas Adi. Mas Adi makin cepat mencoblos vaginaku, dan akhirnya dia menekan penisnya masuk dalam-dalam sampai habis ke pangkalnya. Nafasnya terhenti, terasa penisnya bergerak-gerak pelan di dalam vaginaku. Spermanya sudah keluar. Selesailah sudah malam itu. Perawanku sudah diambil Mas Adi. Memang haknya dia. Aku bahagia sekali, Mas Adi sudah bisa muncrat spermanya di vaginaku. Malam itu aku belum benar-benar merasakan nikmatnya bersetubuh. Tapi aku sudah punya keyakinan vaginaku sudah tidak akan sakit lagi.
Setelah malam itu, kami hampir setiap malam bersetubuh. Aku sudah bisa merasakan orgasme beberapa kali sampai lemas. Aku tidak malu-malu lagi untuk bergerak, menggeliat, mencengkeram, melenguh, merintih menikmati coblosan suamiku. Mas Adi juga mengajariku beberapa variasi dalam berhubungan seks. Tetapi sampai saat ini Mas Adi tidak mau aku mengulum penisnya. Katanya penis itu tempatnya di vagina bukan di mulut. Dia kasihan kalau aku harus mengemot dan mengulum penisnya. Rasanya dia kayak orang yang sewenang-wenang sama istrinya. Demikian juga aku juga tidak tega kalau suamiku sampai mengulum dan menjilati vagina dan clitorisku. Memang betul Mas Adi, vagina itu rumah penis, kalau lidah ya di mulut.
Kehidupan seksual dengan suamiku baik-baik saja, sampai aku hamil. Pada saat hamil kami tetap bersetubuh dengan teratur, walaupun dengan berhati-hati. Bahkan malam sebelum anakku lahir, kami masih bersetubuh. Kata Mas Adi setelah hamil tua, vaginaku menjadi semakin lebar dan licin, tetapi nikmat juga. Aku juga tetap merasa nikmat. Aku melahirkan bayi laki-laki yang cakep banget dan sehat. Kata Mas Adi anak ini pasti sehat karena setiap malam "disepuh" atau dilumuri sperma ayahnya waktu di dalam kandungan. Terang saja, sampai hamil besarpun kami tetap bersetubuh minimal dua kali seminggu.
Satu bulan lebih setelah melahirkan, Mas Adi sudah nggak tahan lagi. Tiap malam penisnya tegang banget. Walaupun kupijit dan kukocok, tetapi spermanya bandel nggak mau keluar-keluar juga. Lama-lama aku kasihan juga sama Mas Adi. Nampaknya persediaan spermanya sudah penuh dan pengin muncrat keluar.
"Mas.. sekarang boleh dicoba yaa. Tapi pelan-pelan lho", ajakku suatu malam setelah aku mengocok penisnya.
"Sudah berani Tut.. sudah sembuh." Aku mengangguk. Dasterku kusingkapkan ke atas. Buah dadaku yang besar karena sedang menyusui, kelihatan putih menggunung. Mas Adi membuka celana dalamku. Buah dadaku diciuminya dan mengenyot pentilku pelan-pelan.
"Mas.. jangan kuat-kuat nanti air susunya keluar lho",
"Habis gede banget dan putih Tut. Aku gemes banget."
Kakiku aku kangkangkan, dan Mas Adi mulai naik ke atas tubuhku. vaginaku siap dicoblos. Pelan-pelan kepala penisnya menempel ke lubangku, ditekan pelan, masuk, masuk dan akhirnya masuk semuanya. Kami langsung menikmatinya. Karena sudah satu bulan lebih tidak masuk ke vaginaku, waah Mas Adi langsung ngotot deh, nafsu banget. "Mas.. alon-alon lho. Kok langsung ngotot siih." "Tut.. aku pengin banget. Begitu masuk pelirku langsung nikmat banget. Aku pasti cepat keluar niih. Nggak apa-apa ya Tut. Aduuh nikmat banget Tut", katanya dengan terus mengocokku.
"Kalau sudah mau keluar langsung dicrootkan saja lho Mas. Nggak usah ditahan-tahan. Aku juga sudah nikmat kok. Dicrotkan di luar saja lo Mas", kataku sambil mengelus punggungnya. Mas Adi tidak menjawab, hanya terus menyetubuhiku dengan penuh semangat.
"Tuut aku mau keluar.. mau keluaar. Aduuh keluar.. Tuut." Mas Adi cepat mencabut penisnya. Cepat kusambar dan kugenggam kuat-kuat. Spermanya muncrat-muncrat di atas perutku. Mas Adi langsung lemas dan terguling di sampingku. Aku membersihkan penis Mas Adi dan sperma yang berantakan di atas perutku.
"Enaak Mas.." bisikku sambil tersenyum.
"Aduuh nikmat banget Tuut. Sudah ngampet sebulan. Sayang 10 menit sudah keluar yaa.. Kamu sudah puas belum Tuut", katanya sambil memandangku.
"Nggak apa-apa Mas. Ini kan percobaan. Nanti dipuas-puasin deeh. Tadi aku agak takut juga. Habis Mas langsung ngotot saja. Tapi ternyata lama-lama nikmat juga. Besok lagi ya Mas." Kami tertawa, berciuman lagi. Mesra. Aku bahagia sekali.
Mungkin bagi sebagian pembaca menganggap hubungan suami-istri seperti kisahku ini adalah hal yang sudah semestinya. Sehingga sensasinya tidak begitu mencekam lagi, karena itu sudah hal yang biasa dan wajib dilakukan oleh sepasang suami istri. Dan kami memang selama ini berhubungan badan secara normal-normal saja. Konvensional dan tidak pernah aneh-aneh. Paling-paling Mas Adi masuk lewat belakang dengan berbaring miring atau aku menungging. Aku juga tidak senang berada di atas, karena aku malah capai dan masuknya terlalu dalam. Aku lebih senang di bawah saja. Aku paling senang kalau kakiku kubuka lebar-lebar, dan Mas Adi mencoblos vaginaku (vulva, red) dengan diputar-putar disenggolkan klitorisku dan dinding kemaluanku. Tetapi kalau sudah mau keluar Mas Adi minta kakiku dirapatkan. Aku kadang-kadang juga capai mengangkangkan kakiku karena Mas Adi tidak keluar-keluar spermanya. Biasanya kakiku kurapatkan dan Mas Adi pasti langsung tambah semangat. Katanya kalau kakiku dirapatkan vaginaku akan menonjol ke atas dan rasanya pelir (penis, red) Mas Adi masuk dalam banget, dan buah zakarnya menempel di pangkal pahaku. Katanya kalau sudah nikmat sekali rasanya yang masuk tidak hanya penis Mas Adi saja, tetapi seluruh badan dan jiwanya masuk ke vaginaku. Luar biasa. Tidak berapa lama kalau sudah begitu Mas Adi tidak tahan lagi dan langsung menyemprotkan spermanya dan langsung lemas.
Kami juga punya banyak koleksi film-film biru. Tetapi lama-kelamaan aku jadi biasa dan tidak begitu bersemangat untuk nonton. Biasanya Mas Adi menonton di kamar tidur kami, sambil tiduran di sampingku. Kalau ada pemain yang penisnya besar dan panjang, biasanya Mas Adi memberi tahuku. Dan memang kulihat ada yang besar sekali dan panjang sampai tidak kuat berdiri tegak, tetapi menggelantung di antara pahanya. "Tut kalau lihat penis segede itu kamu pengin ngrasain nggak Tut. Aku jadi minder lho kalau lihat yag segede itu", kata Mas Adi. "Nggak, aku nggak pengin. Aku sudah puas dan cape melayanimu, Mas. Jangan kawatir deh. Aku sudah puas sama yang ini", kataku sambil meremas penis Mas Adi. Sungguh aku tidak kepingin dimasuki penis yang segede itu. Paling-paling malah sakit kegedean. Menurutku punya Mas Adi sudah cukup besar dan panjang. Kami pernah mengukur, panjangnya 15 cm. Kalau diameternya aku belum pernah mengukur. Tetapi jelas bagiku penis Mas Adi memuaskan vaginaku. Kepalanya licin, mengkilat dan agak lancip. Kepalanya dulu agak kemerahan, tetapi makin lama kok makin gelap warnanya, agak kehitam-hitaman. Aku senang sekali mengelus-elus kepala penis itu dan biasanya Mas Adi mendesis-desis kegelian. Kalau sudah kepingin sekali dari lubangnya keluar sedikit cairan yang bening dan agak lengket. Menurut pengalamanku selama ini aku tidak mempedulikan besar kecilnya penis Mas Adi. Yang penting kami bersetubuh dengan penuh nafsu. Sehingga apapun gerakan penisnya Mas Adi akan terasa nikmat sekali di vaginaku. Yang penting penis harus tegang dan masuk sampai habis mepet ke vaginaku. Aduh kalau sudah begitu aku marem banget deh. Kalau sudah mau keluar Mas Adi akan mengocok semakin cepat dan kasar. Aku mengimbanginya dengan merangkul dan mengantolkan kakiku di pantatnya Mas Adi.
Bersambung. . . . .
No comments:
Post a Comment