Pages

Friday, February 15, 2013

Sebuah kisah

Awek Pantat Panas Cantik"Elo mau mampir enggak, lagi nggak ada orang nih".

Kalimat itu diakhiri dengan tampilan manis sederet gigi putih cemerlang. Ya, Cuma itulah yang perlu ia dengar. Oki nyaris mengacungkan kepalan keudara dan melolong, tapi tampang bunglonnya mampu dengan sempurna menampilkan ekspresi polos saat ia membalik lengan kiri, berlagak melirik arloji, dan mengangguk lugu.



"Mm... iya deh".

Terus terang, munafik banget rasanya kalau mengantar pulang seorang gadis yang baru kenal beberapa jam yang lalu tanpa berharap pamrih apapun. Secara umum banyak yang beranggapan bahwa mencari kesempatan untuk saling mengenal dengan lebih akrab tidaklah bisa dikategorikan sebagai niat jelek. Dan mungkin saja itu memang benar. Namun bagi orang-orang semacam Oki yang mendefinisikan "akrab" sebagai "langkah pertama menuju ranjang," hanya dengan memikirkannya saja sudah jelas merupakan pelanggaran serius terhadap konsep moral, cengir bajingnya waktu berjalan dibelakang Mai memberi gambaran nyata, betapa pernyataan diatas adalah solid dan memiliki referensi fakta yang tak terbantah (ceilee..).

Mai sedang memilah anak kunci ketika terdengar bunyi klik dua kali disusul munculnya seorang wanita dari balik pintu.

"Tumben ada dirumah" sambar Mai.
"Emang nggak boleh" tukas wanita itu ringan, pandangannya melayang kearah Oki.
"Dia Oki, Ki kenalin mama gue"

Mai memperkenalkan Oki pada mamanya. Sebenarnya itu tidak perlu, tidak lebih dari sepersekian detik waktu yang diperlukan oleh Oki untuk menyadari bahwa ia mengenali wanita berambut kecoklatan itu. Kelebatan ingatan dalam benak membuat ia tidak segera memberikan reaksi hingga Mai menepuk pundaknya.

"Hei, kok bengong?!" tanyanya heran.
"Pasti dia sedang mengingat-ingat apakah kami pernah ketemu sebelumnya". Dia tersenyum, mengedipkan sebelah mata.
"Arin kan" kata Oki akhirnya.

Wanita itu tertawa, Mai mengangkat alis surprais. Cukup banyak saat-saat mengesankan yang pernah dialami Oki, dan salah satu momen yang akan sulit buat dilupakan seumur hidup adalah pertemuannya pertama kali dengan Arin. Mengingatnya sekilas sudah cukup untuk membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dan membayangkan detailnya..

Oki yakin ia akan segera menerkam menelanjangi pinggul seksi yang bergoyang menggairahkan didepannya itu bila tidak segera berhenti memikirkannya. Agak cemas ia melirik Mai, ia khawatir gadis itu dapat menebak pikiran mesum yang menyelubungi otaknya saat ini. Mai kelihatannya tidak mengambil kesimpulan kesana, namun jelas kalau ia memperhatikan tingkah Oki, sambil lalu ia berkomentar.

"Kok elo jadi tegang gitu, kenapa, takut sama mama gue, katanya udah kenal?!".

Oki Cuma meringis, Arin juga tidak menyahut, ia bersandar disudut sofa panjang, Mai terus keruang dalam.

"Aku ambil minum dulu" kata Mai, Oki mengangguk dan mengambil tempat didepan Arin.

Sepeninggal Mai, tak satupun diantara mereka yang bicara, Arin hanya menatap lekat-lekat pada Oki, sepertinya sedang menilai. Oki bersandar-dengan santai, berusaha memberi kesan yang sama, apapun itu.

"Seingatku kau dulu agak canggung, bagaimana sekarang, apakah ada kemajuan?!". Arin membuka suara, tangannya bersilang diatas perut.

Oki mendengus tertawa kecil, dengan hati-hati ia menjawab.

"Rasanya aku harus berterima kasih pada tante. Banyak pengalaman berharga yang kuperoleh waktu mm..." Oki diam sejenak, mengamati Arin. Wanita itu cuma angkat bahu. Melihatmu terkapar berlumur sperma-pastilah kalimat yang tepat, pikir Oki.

"Pertemuan kita tempo hari" lanjutnya.

Arin tersenyum. Oki tidak yakin, tapi tampaknya wanita itu kelihatan geli mendengar jawabannya tadi.

"Lalu bagaimana pendapatmu dengan pertemuan kali ini?!".

Oki menyeringai-tunggu apa lagi, cepat buka pakaianmu-ia mencoba membayangkan bagaimana reaksi Arin kalau ia mengatakan begitu saja apa yang ada dalam pikirannya, berbicara seperti itu jelas akan membuatnya kelihatan kurang memiliki etika. Tapi paling tidak itu adalah sebuah ungkapan yang jujur.

"Kebetulan yang menyenangkan kurasa, situasinya mungkin agak berbeda dengan..".
"Berbeda?!" Potong arin.
"Maksudmu karena saat ini aku memakai pakaian lengkap?!".

Ya ampun, apa kau membaca pikiranku... teriak Oki dalam hati. Kalau kau berbaring telanjang dengan paha terbuka, apa kau pikir.. Arin tersenyum melihat Oki menggeser duduknya, ikat rambutnya berayun melewati pundak tatkala ia beranjak dari sofa, mendekati Oki, sedikit membungkuk diatasnya.

"Aku ingin tahu, apa sebenarnya yang kau pikirkan saat ini". Kata-katanya lirih, semakin merunduk, matanya meredup, bibirnya tipis merekah, wajah mereka begitu dekat sehingga Oki dapat mencium aroma nafas Arin. Astaga. Orang tololpun pasti tahu apa artinya, dan Oki tidak merasa dirinya tolol. Ia merenggut leher Arin, menariknya hingga bibir mereka bertemu.

Oki mengecup lembut bibir bawah wanita itu, melumatnya, mempermainkannya sejenak, lalu berdecak basah kebibir atas, memberinya gigitan kecil. Ujung lidahnya menyapu garis gigi, menyelinap.. Oki mendorong rebah tubuh Arin, menyandarkannya dilengan sofa. Tangannya bergerak tak sabar melepas kancing jean's, menarik turun restletingnya, lalu merayap keatas dibalik T-Shirt, menyambar, meremas kasar payudara arin. Wanita itu menggelinjang memekik teredam, namun ia tidak membiarkan pagut bibir mereka terlepas.

Tiba-tiba kesadaran yang aneh melilit Oki, ia menggumamkan sesuatu tentang Mai, dan seakan sebagai jawaban, terdengar suara dibelakang mereka.

"Ada yang memanggilku?!"

Gerak cumbu mereka terputus. Arin menggeram, Oki menggertakkan gigi, berbalik dan mendapati Mai yang berdiri membawa tiga kaleng soft drink, raut mukanya menunjukkan ekspresi yang jika tidak dalam suasana seperti ini akan membuat Oki dengan suka rela membelikannya seember es krim.

Dilihatnya Arin merapikan diri dan kembali duduk. Berdiri resah dengan sikap serba salah. Dan omong-omong soal tolol, saat itu Oki merasa tolol sekali, akhirnya iapun menenggelamkan diri disofa. Ia tidak tahu mana yang lebih membuatnya tidak tenang, perasaan bersalah atau penasaran.

"Aku tadi sempat bertanya-tanya.." Ucap Mai datar sambil meletakkan kaleng soft drink diatas meja.

Suram sekali loe, gerutu Oki dalam hati. Ia tidak akan kaget kalau tiba-tiba gadis itu meledak.

"Bagaimana kalian berkenalan..".

Dan sekarang ia berdiri tegak, melayangkan pandang pada mereka dengan dramatis.

"Seharusnya aku bisa menduga itu!!".

Oki mendengus.-Oke, aku memang pernah meniduri mamamu, apa kau punya masalah dengan itu..-, ia melirik Mai dengan sebal. Tapi apa yang dilihatnya membuat ia tidak yakin dengan penglihatannya sendiri.

Mai mencopot sweater, melemparnya kelantai. Dalam beberapa detik celana denim's nya menyusul teronggok dikaki sofa. Lalu bra, celana dalam.. Oki tercengang, menatapnya takjub. Ia belum sepenuhnya menyadari apa yang sebenarnya terjadi ketika Mai menariknya berdiri dan mulai melucuti pakaiannya.

Mai melakukannya dengan cepat, mengabaikan apa yang menudingnya saat menurunkan CD Oki. Setelah selesai, di dorongnya pemuda itu kembali keatas sofa, Oki masih tampak seperti orang yang kehilangan kesadaran, tapi alat vitalnya mendongak tegang, dan ini memberi kesan aneh seakan-akan otak kotornya bekerja lebih cepat daripada kemampuannya mengambil kesimpulan.

Mai meremas. Setitik cairan bening menetes dari ujung penis, gadis itu mengecupnya. Lalu ia memanjat naik keatas sofa mengangkangi tubuh Oki. Memberi perhatian penuh pada batang penis yang ia pegangi agar tetap dalam posisi yang pas ketika ia menurunkan pangkal paha tepat diatasnya.

Mmh... Mai mendesah pelan, mengigit bibir melihat ujung batang penis menusuk pangkal paha, bergerak menembus kedalam liang vaginanya. Selama beberapa saat ia membiarkan seluruh beban berat tubuhnya menindih gumpalan liat yang mengganjal memenuhi bagian dalam liang kewanitaannya itu. Perutnya menegang, otot vaginanya berkontraksi, ia menyeringai ketika merasakan desir menyenangkan yang dihasilkan oleh tekanannya merebak dibawah perut dan sekitar pinggul, lalu dengan cepat menyebar keseluruh tubuh.

Berikutnya. Dalam posisi setengah menungging Mai mulai menaik turunkan tubuh, mengamati dengan antusias batang penis Oki muncul tenggelam dalam pangkal pahanya, batang penis itu mulai berkilap dibasahi oleh cairan vagina

Setelah beberapa kali penetrasi, gadis itu berhenti, ia merangkul leher Oki dan menggeliat genit. Senyumnya menampilkan pesona yang biasa diperlihatkan oleh gadis-gadis belia tatkala mereka sedang menanti ciuman selamat malam dari sang kekasih yang telah berbaik hati mengantarkannya pulang.

Sayang aura manis itu harus memudar menjadi kernyit heran ketika melihat tatapan kosong Oki, ia kelihatannya tidak menyadari apa yang sedang berlangsung. Mai dengan gemas mengetok kepalanya.

"Hei, halo, ada orang didalam. Kenapa, kamu nggak tiba-tiba jadi bego kan".

Tak ada reaksi. Mai mengibas-ibaskan tangan didepan muka Oki, menepuk-nepuk pipinya dan mulai cemas. Baru beberapa saat yang lalu ia berjumpa pemuda ini, ia tidak mengenalnya, ia tidak tahu apa-apa tentangnya. Mungkin saja ia memiliki kelainan tertentu. Mungkin ia tidak tahan menerima kejutan. Mungkin saja apa yang dilakukannya membuat pemuda ini shock berat, dengan bingung ia mengamati tampang Oki yang seperti habis dikecup Dementor.

Kemudian, perlahan-lahan kepala Oki mulai condong kedepan, kelihatannya ia akan tersungkur. Mai nyaris melompat kabur. Tapi tiba-tiba Oki mendekap Mai, bertubi-tubi menciumi sepasang lingkar payudaranya. Menggelitikinya. Mai melonjak kaget. Serangan mendadak itu membuatnya menggelinjang hebat, terpingkal-pingkal kegelian. Oki mengangkat tubuh Mai, menghempaskannya ke sofa, lantas menyetubuhinya.

Sofa berderit bergeser bergoyang-goyang saat dengan buas Oki "memperkosa" gadis itu. Masih dengan ekspresi yang sama, gelak tawa Mai berganti dengan erang dan pekik penuh birahi, tubuhnya tersentak-sentak liar. Kedua kakinya mengejang. Dan tampaknya ia menikmati... sangat menikmati kejutan tersebut. Gadis itu terengah-engah berusaha mendapatkan udara ketika denyut-denyut rangsangan dengan cepat membakar dibawah perutnya, membesar, dan akhirnya meledak melewati puncak gelombang kenikmatan.

Mai mengeluh dalam erang tertahan-tahan, tubuhnya menegang, pada saat yang sama Oki merasakan nyeri menusuk punggungnya. Ia pun mengurangi tempo senggama, memberi kesempatan pada gadis itu untuk sepenuhnya menikmati sengatan orgasme.

Lewat beberapa saat, semuanya kembali mereda, cengkeraman dibahu Oki mengendur. Pemuda itu mundur berdiri dan mengusap garis merah yang ditorehkan oleh kuku mai dipunggungnya. Alat vitalnya terasa meremang. Dilihatnya mata Mai terpejam, dada gadis itu naik turun dengan cepat, ia mengusap rekah kemerahan bibir vagina Mai yang basah oleh cairan tanpa warna. Senyum damai yang penuh kepuasan diwajah gadis itu menggugah gairahnya. Dan sekarang ia berpaling kepada Arin.

Arin duduk bersandar bertopang dagu, jari-jarinya setengah menutupi wajah, matanya begitu dingin, dan kesan pertama yang ditangkap Oki adalah ancaman. Benak Oki berkecamuk, ia mencoba mengartikan sorot tipis mata Arin. Ia mencoba memahami, bagaimana perasaan seorang wanita yang menyaksikan anak gadisnya bercinta tepat didepan mata.

Yah... sebuah pemikiran yang kurang menguntungkan karena pada saat yang sama ia juga berharap bahwa sorot mata itu menawarkan apa yang sedang ia inginkan saat ini. Oki melihat kembali saat-saat ketika hasratnya begitu tak tertahankan, saat dimana seorang wanita bernama Arin menawarkan sebuah kesempatan padanya untuk mengenal apa yang disebut dengan pengalaman pertama, pengalaman akan kepuasan yang takkan terlupa, dan pada detik ini ia menginginkan kepuasan itu kembali.

Berdasarkan Pengalaman, Oki menyadari bahwa ada saat saat tertentu dimana terlalu banyak pertimbangan berarti lepasnya sebuah kesempatan. Akal sehat dalam banyak hal memang dapat membantu kita mencapai hasil yang memuaskan. Namun naluri, secara mengejutkan, terkadang bisa menuntun kita mendapatkan lebih dari apa yang kita bayangkan. Dan pada saat ini, Oki mempercayai nalurinya lebih dari segala macam logika apapun yang ada dipermukaan bumi ini.

Dengan langkah pasti ia mendatangi Arin, dicengkeramnya pinggul wanita itu, lalu dipaksanya untuk berbalik. Agak sulit ternyata untuk melucuti celana jean's Arin, walaupun tidak melawan, Arin juga tidak membantu sama sekali. Namun Oki tidak merasa perlu untuk melepas seluruhnya, ia hanya perlu merosotnya hingga diatas lutut, dan ketika ia menarik celana dalam Arin, Oki tahu bahwa itu sudah cukup. Belahan vagina Arin telah terlihat. Oki tidak menunggu, segera saja ia menempelkan ujung penisnya dibelahan bibir vagina itu.

Namun ketika ia hendak melakukan penetrasi, tiba-tiba Arin berbalik dan mendorongnya, Oki terkejut, ia berusaha bertahan, tapi Arin tetap mendorongnya. Oki tahu bahwa itu bukanlah suatu bentuk perlawanan yang tidak bisa ia atasi, namun itu adalah penolakan, dan ia harus menerimanya. Perlahan ia melangkah mundur, pemuda itu tidak menyembunyikan rasa kecewanya, namun tetap saja benteng dingin Arin memaksanya untuk menelan rasa kecewa itu. Ia betul betul dibuat bingung. Ia kecewa, ia marah, gairahnya lenyap seketika, tapi hanya sekejap, karena saat berikutnya ia betul-betul dipenuhi nafsu birahi, dan ia melihat Mai sebagai sosok pelampiasannya.

Mai dapat merasakan luapan nafsu Oki ketika pemuda itu kembali menyetubuhinya, dengus nafasnya terasa panas, namun ekspresinya begitu dingin, pemuda itu menghindari tatapannya. Ia tahu pemuda itu marah, emosinya membuat ia menjadi kasar, dan hal itu membuat tubuh Mai terasa sakit, namun ia tidak dapat menolaknya, ia tidak bisa berbuat lain kecuali membiarkan pemuda itu memuaskan nafsunya.

Oki bisa melihat kernyit tidak suka dalam raut muka Mai, tapi perasaannya benar-benar dipenuhi emosi, ia sendiripun heran, mengapa ia sampai merasa seperti itu. Ia berusaha menenangkan diri, namun sosok Arin terus muncul dalam pikirannya.

Oki menyeringai, dengus tawa pahit yang nyaris mencekiknya. Ia menatap kosong raut kecewa di wajah Mai. Oki berusaha untuk menikmati, namun sia-sia, gadis itu terasa "hambar," ia bercinta tanpa rasa, bagi Oki persetubuhan itu menjadi tidak lebih dari sesuatu yang perlu segera diselesaikan. Gairahnya benar-benar telah mengkristal disudut benak, gairah itu hanya bisa terpuaskan dengan menindih tubuh Arin.

Arin... Arin... ia tidak tahu mengapa, tapi yang pasti saat ini ia sangat menginginkan wanita itu.

Waktu terlewati begitu saja, ia nyaris tidak ingat bagaimana ia selesai dengan Mai. Setelah membersihkan diri Mai memintanya untuk pergi, tanpa banyak bicara ia menurutinya. Sungguh akhir yang sia-sia pikir Oki, ia mengutuki kebodohannya sendiri. Tidak setiap hari ia bertemu dengan gadis seperti Mai, apa ia masih bisa bertemu gadis itu lagi?! Ia mengeluarkan motornya dengan membawa seribu tanya.

Tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggil, ia celingukan mencari asal suara tersebut. Rupanya dari beranda lantai atas. Arin. Wanita itu melemparkan sesuatu, dengan sigap Oki menangkapnya, ternyata beberapa untaian anak kunci dalam gantungan warna emas, ia mendongak.

"Datanglah lagi kalau kau mau" kata Arin.

Oki tidak berkata apa-apa, ia menggenggam erat anak kunci itu, lalu dimasukkannya ke dalam saku jaket. Sekali lagi ia menengadah ke arah Arin, saat itu ia melihat Mai muncul dari belakang Arin, gadis itu diam memandangnya, Oki menutup kaca helmnya, melambai.

Menembus gelap malam, sebuah motor Honda Tiger meraung dan melesat pergi..!!

Tamat


No comments:

Post a Comment