Pages

Thursday, June 7, 2012

Saya seorang dukun - 2

Awek Pantat Panas CantikSekarang saya dalam posisi mendekap Mbak Retno dari belakang, sambil meremas-remas buah dadanya yang basah dan licin, karena saya beri sabun.
"Saya ingin mempersiapkan payudara ini untuk menyambut kedatangan anak Mbak.." bisik saya dengan konyol. Dan sama konyolnya, Mbak Retno mengangguk percaya.
"Selain Mas Irawan, juga ada yang meremas ini Mbak..?" bisik saya lagi.
Mbak Retno menggeleng. Saya menempelkan mulut saya di belakang telinga wanita yang berbau harum itu. Secara sengaja menghembuskan nafas di sana, membuat mata wanita ini semkin kuat dipejamkan, namun mulutnya terbuka menahan geli yang merangsang.


"Angkat kedua tangan Mbak ke atas, berpegang di rambut saya.."
Wanita itu menurut dan saya menyaksikan ketiaknya yang tanpa bulu, karena habis dicukur. Tangan saya pelan-pelan turun ke bawah. Wanita ini kelihatan meregang dan menekuk tubuhnya ke belakang, sehingga sepasang buah dadanya yang besar kian menonjol ke depan. Bukan main. Saya semakin menyadari, bahwa acara mandi dukun ini akan berubah total menjadi mandi kucing dan selanjutnya menjadi mandi pengantin lalu kawin anjing atau entah apa istilahnya.

Tangan kanan saya sekarang berada di dalam celana pendek Mbak Retno. Mengusap, menggosok, meremas, lalu mengorek ke bagian dalamnya. Terutama (seperti sudah kewajiban) mengait-ngait klitorisnya.
"Aaahh.." Mbak Retno bagai terpekik.
Tangan kiri saya dengan giat mengusapi buah dada dan ketiaknya, sedang tangan kanan merangsang bagian bawah tiubuh wanita ini. Seluruh kemampuan dan pengalaman yang ada, saya kerahkan untuk membangkitkan voltase nafsu wanita ini setinggi-tingginya.
"Mbak mau ya..?" bisik saya.
Wanita itu tidak menyahut, meskipun saya mengetahui dengan yakin kalau dia sangat menginginkan acara ini berkembang lebih jauh. Tapi mungkin agar seolah tidak sampai merasa kehilangan harga diri (meski kalau mau diginiin di mana harga dirinya?), dia tidak menyahut.

Saya kembali bertanya dan dia justru terpekik kecil saat jari tengah saya merasuk sangat dalam ke liang vaginanya. Nafasnya menderu kencang. Terengah-engah, bagai kuda beban menghela muatan yang sangat berat. Tangannya dengan kuat menarik rambut saya, membuat saya sekejap ingat dengan jambakan tangan Ibu saya di masa kecil, ketika suatu hari ketahuan nakal mengintip kakak Ipar saya yang lagi bersetubuh dari balik lubang kunci. Perangsangan itu berlangsung cukup lama. Tak apa. Suaminya kan lagi tidak ada di rumah ini.

Saya berusaha mengangkat tubuh Mbak Retno agar berdiri. Dia melakukan itu dengan agak susah payah. Jelas, wanita ini menjadi lemah karena nafsu yang menggelora. Sekarang dia benar-benar dalam kondisi polos ketika sarung dan celana dalamnya sudah saya lepaskan di lantai. Dia menatap saya lewat kaca di depan dengan mata sayu. Dia juga pasti merasakan penis saya yang tegang dari balik celana saya yang menempel ketat di pantatnya. Saya mengangkat tangan kanannya ke atas dan memintanya berpegangan di rambut saya, sedang tangannya yang lain saya biarkan bebas.

Pelan-pelan, kedua tangan saya menyusuri kedua buah dadanya yang montok.
"Saya tak pernah menyaksikan payudara yang begini merangsang.." gombal saya.
Wanita ini menggigil ketika kedua ujung puitingnya saya pelintir dengan lembut.
"Mbak mau main dengan Saya..?"
Mbak Retno tidak menyahut. Sebagai jawaban, sebelah tangannya secara pelan merayap ke belakang. Saya sadar, apa yang dicarinya. Selesai sudah. Sekarang tidak perlu ada kepura-puraan lagi. Tidak perlu ada acara mandi-mandian lagi. Saya segera menanggalkan celana pendek saya. Saudara kecil kebanggaan saya yang sekeras gada Hansip dengan kepalanya yang lebar berkilat itu segera mendongak muncul dengan lega melihat dunia. Mbak Retno segera menangkapnya. Meremas gemetar.

"Begini besar Mas..?" bisiknya tanpa sadar.
"Akan menjadi lebih besar jika masuk ke dalam punyamu.." jawab saya tidak kalah porno.
Saya segera membalikkan tubuh wanita itu, lalu mencium bibirnya. Tangan saya dengan sibuk meremas buah dada dan vaginanya, sementara punya saya diremas dan kadang dikocok-kocoknya. Saya mengangkat tubuh wanita sintal itu dan mendudukkannya ke bibir meja toilet. Sebelah kakinya, saya pijakkan ke bangku kecil yang didudukinya tadi, sedang kaki yang lainnya menginjak bak mandi.

Saya berlutut dan mulai melakukan salah satu kegiatan seks yang saya sukai, cunnalingus. Menjilat, mengigigit-gigit kecil, mengisap serta memutar-mutarkan lidah dan berusaha dimasukkan sedalam-dalamnya ke liang vagina wanita ini yang tidak berbau, kecuali semerbak oleh aroma merangsang yang ditimbulkan dari cairan pembersih wanita yang mungkin tadi dipakainya.
"Maass.." Mbak Retno merintih.
Berpegangan di meja toilet itu dengan tubuh gemetar dan tersentak-sentak setiap lidah saya merangsang bagian paling peka di vaginanya. Hanya sekitar dua menit, tiba-tiba wanita ini bergerak gelisah. Pahanya mengangkang semakin lebar. Tangan saya cepat menangkap buah dadanya, lalu memeras lebih keras serta menghisap klitorisnya dengan gerakan cepat. Itu pola saya jika mengetahui lawan saya bakal orgasme.

"Maass.., Maass.., Mas Boby.., aku.. aku, oohh.. oohh.." desahnya tak karuan.
Mbak Retno tiba-tiba menggeliat dengan keras, sehingga saya perlu tenaga ekstra untuk menahan gerakan liar tubuhnya. Kepalanya beberapa kali terlempar ke belakang lalu dengan kasar vaginanya disorongkan ke depan untuk memaksa lidah saya masuk lebih dalam. Gelombang orgasme itu berlangsung sekitar sepuluh detik. Saya cepat merangkul tubuh wanita yang sintal itu. Mbak Retno menyembunyikan wajahnya di balik telinga saya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya. Yang jelas, sekarang saya akan memulai permainan sesungguhnya.

Wajahnya saya tatap dengan mesra. Setelah memuji kecantikannya, saya mulai menciumi bibirnya, lalu lehernya. Kemudian menyusur turun ke buah dadanya yang tadi telah saya siram dengan air untuk menghilangkan busa sabun yang melengket disana. Wanita ini tiba-tiba mendorong tubuh saya. Meminta saya duduk di meja toilet, lalu menciumi penis saya yang sudah hampir mencapai tingkat kekerasan tertingginya.

Wanita ini benar-benar ahli dalam hal mengisap penis lelaki. Dan setiap saya mengerang menahan nikmat, dia juga ikut mengerang, mungkin karena sangat terangsang mendengar erangan nikmat saya. Dia memasukkan kepala penis saya ke dalam mulutnya. Tidak ada gerakan kepalanya yang turun naik, yang ada hanyalah sedotan yang dia lakukan secara demikian ahli, sehingga saya merasakan gabungan berbagai rasa nikmat yang menggeletar sampai ke ubun-ubun. Saya menggigil dan membungkuk untuk menahan sensasi luar biasa itu. Berjuang untuk tidak sampai ambrol. Malu lah awak yang sudah dianggap dukun ini, kalau jadi Edy Tansil yang tidak sabar untuk keluar, padahal urusan di penjara belum lagi selesai.

Saya biarkan wanita itu merangsang penis saya. Jilatannya pelan-pelan menurun ke bawah, terus ke bawah seraya tangannya menarik kemudian mengangkat sebelah paha saya ke atas. Itu membuat saya akhirnya membungkuk di depan toilet, saya membelakanginya. Astaga! Wanita itu mulai menjilati anus saya dengan sangat ahli. Saya segera berbalik dan ganti memposisikan dirinya seperti itu. Sekarang jilatan saya menggilas seluruh permukaan punggungnya sebelum turun ke pantat. Mbak Retno membentangkan kedua belah kakinya serta mengangkat pinggulnya lebih tinggi ke atas. Posisi itu membuat anusnya terbuka. Saya segera menjilatinya dengan rakus.

"Aaahh.." Wanita itu merintih.
Pinggulnya semakin tinggi dinaikkan dan sasaran saya berganti ke vaginanya yang merekah merah.
"Mas Boby.., cepat masukkan.., masukkan Mas.. Ayo..!" Dia menggeliat-geliat tidak sabar.
Tanpa diminta dua kali, penis saya yang memang sudah tidak sabar, segera saya arahkan ke bibir vaginanya. Begitu saya tekan, dia menjerit karena nikmat. Kemudian semuanya saya benamkan sekaligus.
"Maass.., kenapa begini enak..? Punya Mas enak sekali. Betul Mas. Ini enak sekali. Ayo Mas cepat masukkan lebih dalam lagi..!"
Penisku kutekan lebih dalam lagi. Mbak Retno berpegangan dengan kuat di toilet. Pinggulnya yang besar itu kuremas dengan kasar, lalu tembakan gencar penisku mulai berlangsung. Mata Mbak Retno terbeliak. Dia menatapku dari depan cermin. Aku kian bersemangat memompa.

"Aduh Mas, enaknya.. Enak sekali Mas Boby.."
"Bagaimana dengan Mas Irawan..?" tanyaku dengan nafas memburu.
"Punya Mas lebih enak lagi.. Aku tidak tahan.., Punya Mas mengaduk-aduk punyaku di dalam. Dalam sekali Mas Aku keenakan..," dia mencerocos dengan kalimat porno itu secara tidak sadar.
Hal ini membuatku tambah bersemangat memacu. Mbak Retno semakin tinggi mengangkat pinggulnya. Bagian dalam vaginanya terus berdenyut-denyut dan semakin berkontraksi menangkap penisku.

Mbak Retno tiba-tiba menjerit dengan tubuh mengejang. Dia kembali orgasme. Saya tidak menghentikan gerakan dan terus memompanya. Kemudian saya membalikkan tubuhnya, lalu mendudukkannya di atas paha saya yang sudah terlebih dahulu duduk di atas kursi kecil itu. Dengan tergesa-gesa, penisku kumasukkan ke dalam vaginanya. Sekarang dia yang saya gerakkan secara ritmis mundur-maju. Bibir kucium dan kedua buah dadanya kuremas penuh nafsu. Gerakannya semakin lama semakin cepat. Gairahnya kembali bangkit. Kali ini dia sendiri yang secara bersemangat membuat gerakan. Kadang-kadang dia mengambil posisi yang membuat penisku masuk sangat dalam ke dasar mulut rahimnya. Mulutnya langsung ternganga antara menahan rasa agak nyeri dan nikmat yang menggila.

"Aku sudah mau keluar Mbak..!" kataku dengan nafas memburu.
"Aku juga Dik Boby.. Aku juga.. Ayo, sekarang Mbak hitung, Mbak hitung sampai sepuluh..!"
Dia berkata dengan mata melotot serta terengah-engah. Hitungan itu segera dilakukannya. Saya mengatur tempo antar bilangan itu dengan titik orgasme saya. Dan tepat pada hitungan ke delapan, gerakan Mbak Retno berubah semakin liar dan gila. Sangat cepat dan kasar. Kami saling berpagut berciuman, saling menggeram. Lalu merasakan nikmat luar biasa itu datang bagai gemuruh gelombang yang saling beriringan. Mendebur menghantam serta menghanyutkan. Usai sudah.
"Saya tidak memandikan Mbak..," bisikku kemudian.
Mbak Retno tertawa kecil, "Mas Irawan juga tidak akan tahu. Kita ngomong aja tak terjadi apa-apa. Dik Boby harus bersikap wajar..!" pesannya.
"Ya.. Kita harus saling bersandiwara".

Beberapa hari setelah peristiwa itu, saya semakin sadar bahwa sandiwara itu hanya prilaku bodoh. Nonsenlah kalau Mas Irawan tidak tahu apa yang akan terjadi antara seorang wanita bahenol yang hanya mengenakan sarung, dengan pemuda lajang, di dalam sebuah kamar mandi berduaan. Apa lagi si pemuda diijinkan menyentuh tubuh si wanita. Saya kira, keyakinannya tentang masalah dukun itu hanyalah siasat belaka. Mas Irawan kemungkinan memang mandul, tetapi ingin punya anak, meski itu dari bibit atau sperma orang lain. Dan orang yang dipilih itu adalah saya. Lalu saya sendiri, menyambut kesempatan itu dengan antusias, meski tidak soal harus dianggap dukun. Kalau jadi Dukun yang keenakan, bagi saya itu sih tidak jadi soal.

TAMAT


No comments:

Post a Comment