Pages

Tuesday, January 17, 2012

Memori Villa hijau

Hari itu aku menjadi saksi pembelian sebuah villa dari broker properti pada pamanku. Sebenarnya pembelian ini agak unik menurutku. Hal ini karena pamanku membeli villa ini tanpa melihat langsung dahulu villa yang akan dibelinya itu. Pamanku membeli hanya berdasar brosur dan keterangan broker yang tak lain masih temannya. Di samping untuk membantu temannya itu pamanku juga tertarik pada harganya yang tergolong murah. Memang menurut brosur itu villa yang tergolong besar ini ditawarkan murah. Alasan sibroker karena pemilik lama kepepet sekali butuh uang untuk operasi jantung. Namun walau besar lokasinya memang masih di desa yang jauh dari jalan besar utama. Menurut si broker lagi untuk mencapai lokasi villa harus melewati jalan desa yang penuh liku-liku. Dan juga semenjak pemilik lama sakit dua bulan lalu villa itu tak pernah lagi dikunjungi. Si broker sendiri belum pernah ke sana hanya langsung diberi foto-foto dan keterangan villa oleh pemilik lama untuk dijualkan. Walau berharga murah tak ada yang tertarik kecuali pamanku ini.

Selesai urusan pembelian pamanku menyuruhku agar secepatnya untuk melihat sekaligus membenahi villa. Pamanku sendiri tak ada waktu mengingat kesibukannya. Aku mengusulkan agar besok saja ke sananya. Malam sebelum berangkat aku menelepon temanku untuk diijinkan tidak kuliah selama aku pergi. Lalu aku menyiapkan perbekalan untuk dibawa antara lain alat kebersihan, lampu darurat, dan makanan instan. Sebagai lelaki muda aku memang senang bertualang bahkan terkadang hanya seorang diri saja. Jadi hal seperti ini sudah aku anggap biasa. Setelah semuanya aku masukkan ke dalam mobil espas minibus pamanku aku langsung pergi tidur agar esok bugar. Seperti biasa dan sudah menjadi kebiasaan aku kalau tidur telanjang bulat. Begitu membayangkan tubuh wanita telanjang aku langsung tertidur. Jujur saja melihat wanita bugil langsung dihadapanku aku belum pernah apalagi bersenggama dengan mereka. Jadi aku masih perjaka.

Esoknya aku bangun pukul 08.00. Rumah sudah sepi karena pamanku telah berangkat kerja pada pukul 06.00. Istri pamanku sudah dua bulan ini bertugas di luar negeri. Sementara Bik Lastri pembantu di rumah tengah ke pasar mungkin. Biasanya jam-jam segini memang jadwalnya dia ke pasar. Aku lalu mandi. Selesai mandi aku sarapan nasi goreng yang telah disiapkan. Kulihat di atas meja kerja paman ada amplop dan pesan untukku. Rupanya itu berisi surat pengantar dan uang saku dari pamanku. Waktu telah menunjukkan pukul 09.00 dan kuputuskan untuk berangkat agar tak kemalaman saat tiba di villa. Kebetulan aku punya kunci rumah sendiri jadi tak perlu menunggu Bik Lastri pulang. Mobil lalu kustater berangkatlah aku. Sekitar dua jam perjalanan aku berhenti mengisi bensin dahulu. Tiba-tiba aku teringat tas berisi pakaianku ketinggalan. Ya sudah nasib barangkali aku jadi tak membawa pakaian pengganti.

Tiga jam kemudian aku telah sampai di gerbang desa tempat lokasi villa. Jalan menuju ke sana memang menyulitkan dan aku harus bertanya berulang kali. Desa ini memang agak terpencil tapi pemdanangannya indah. Hawa di sini terasa sejuk dan nyaman. Di depan gerbang desa terpasang spdanuk yang menerangkan sebuah universitas dari Jakarta tengah KKN. Mobil lalu kujalankan terus hingga sekitar satu kilometer jalan bercabang dua. Menurut brosur lokasi villa setelah melewati balai desa. Jadi harus mencari jalan menuju balai desa. Tapi di percabangan itu tak ada petunjuk sama sekali. Hendak bertanya tak ada orang lewat. Sambil menunggu orang lewat mobil kutepikan dan aku beristirahat. Sudah satu setengah jam aku menunggu akhirnya dari spion mobil kulihat tiga orang perempuan dua diantaranya mengenakan jas almamaternya menuju ke arahku berjalan kaki. Mereka tampaknya peserta KKN. Aku lalu keluar mobil menunggu mereka tiba. Semenit kemudian mereka tiba. Wajah ketiganya bagiku cantik semua apalagi dibdaningkan cewek yang kukenal mereka lebih menarik. Kulit mereka kuning langsat kecuali yang tak mengenakan jas agak coklat. Tubuh merekapun proporsional dengan tinggi sekitar 160 cm berat seimbang.

"Selamat sore, Mas mau kemana? Kok berhenti sendirian di sini. Tampaknya dari luar kota, ya?" Sapa si cewek tak berjas membuyarkan lamunanku tentang mereka.
"Kayaknya baru lihat nih. Pasti bingung memilih jalan ini 'kan?" Si cewek berjas almamater berambut lurus sebahu menimpali. Sementara cewek berjas satunya yang mengenakan rok agak mini longgar hanya tersenyum.
"Benar saya dari luar kota. Sebelumnya saya perkenalkan namaku Rama masih kuliah sih. Kalau jalan ke balai desa yang mana ya?" Tanyaku sok akrab.
"Oh maaf kami lupa kenalan dulu. Kalau nama saya Mirna, sedang yang ini Mbak Ratih. Nah yang pakai rok namanya Mbak Tantri. Jalan ke balai desa yang kanan. Yang kiri menuju ke lapangan desa di sana sedang ada hiburan hingga malam. Penduduk desa hampir semuanya sudah di sana. Mas mau ke rumah siapa?" Cewek bernama Mirna menerangkan.

Tiba-tiba gerimis turun. Kupersilahkan ketiganya naik ke mobil walau agak berdesakan dengan perbekalanku. Setelah kujelaskan maksud kedatanganku mereka terutama Mirna agak terkejut. Tapi saat kudesak mengapa terkejut Mirna malah tersenyum manis. Kebetulan Mirna yang putri Pak Kadus tempat Ratih dan Tantri ditugaskan hendak pulang ke rumahnya. Katanya jalannya searah tapi lebih jauh dari villa sekitar satujam berjalan kaki. Mereka bertiga baru saja jalan-jalan dari kota kecamatan. Delapan menit kemudian kami tiba di villa. Jarak dari rumah terdekat cukup jauh jadi villa ini tampak berdiri sendirian. Saat mobil hendak kulajukan lagi menuju rumah Mirna, Tantri mengusulkan hendak membantu bersih-bersih. Akhirnya mobil kumasukkan ke halaman villa yang luas tanpa pagar. Kuparkir di bawah pohon mangga besar. Gerimis agak mereda.

Villa dengan luas bangunan 200 m2 dan luas tanah 500 m2 yang tidak bertingkat ini dicat hijau muda. Sampah dedaunan berserakan sementara debu dan sarang laba-laba tampak dimana-mana. Lalu pintu depan aku buka tampak ruangan terdiri tiga kamar tidur ini sangat kotor. Setelah perbekalan diturunkan langsung saja kami berempat membersihkan villa ini. Untunglah pukul enam sore semuanya selesai. Lampu-lampu ruangan ternyata masih berfungsi. Bahkan pompa air penyedot air sumur masih bisa berfungsi baik.

Saat hendak mengantar mereka pulang pada pukul setengah tujuh malam hujan turun lagi dengan derasnya. Padahal jarak dari teras ke mobil sekitar sepuluh meter dan tidak ada payung. Akhirnya diputuskan menunggu hujan reda. Kami kecuali Tantri lalu mengobrol akrab, Dari obrolan aku tahu Ratih baru sebulan menikah, Mirna walau telah berusia 32 tahun belum menikah alasannya sebagai bungsu ia ingin membantu bapaknya yang menduda dan sudah tua. Tapi kuakui tubuhnya cukup terawat walau hidup di desa. Sedangkan Tantri hanya diam. Dari tadi ia sibuk memasang korden di jendela depan.

Tiba-tiba pintu depan yang tak kukunci terbuka disertai hembusan angin beserta air hujan. Tantri yang berdiri dekat pintu roknya terangkat ke atas tampak celana dalam merahnya terlihat olehku membuat nafsuku menaik. Paha dan betisnya begitu mulus menggoda. Air hujan yang datang beserta angin membuat ia basah kuyup. Dengan agak malu ia langsung berlari ke kamar mandi. Dari dalam kamar mandi Tantri minta dipinjami pakaian.

Celakanya aku tak membawanya sampai hdanukpun tertinggal. Aku hanya berkaos oblong celana jeans dan CD saja beginipun masih kedinginan. Mirna berterus terang sudah terbiasa tak mengenakan jeroan alias CD dan BH. Jadi bila kemeja dan celanapanjangnya dipinjamkan berarti harus telanjang. Membayangkan itu membuat nafsuku tambah naik lagi. Ratih terlihat menuju ke depan pintu kamar mandi. Ia lalu melepaskan jaket almamater lalu mencopot celana jeansnya. Lalu diserahkanlah pada Tantri.

Kini ia hanya berkaos oblong tanpa BH menutup badan sedangkan bawahannya celana pendek panty ketat. Walau tidak telanjang baru kali ini kulihat langsung samar-samar payudara cukup besar dengan puting mencap di kaos Ratih. Aku tak tahu berapa ukurannya karena belum berpengalaman. Terlihat pula kakinya begitu mulus melangkah ke arahku dan Mirna. Bagiku melihat hal seperti ini sudah membuat kontolku mulai bangun. Apalagi hampir seminggu tak kuledakkan lewat onani. Ditambah suasana seperti ini membuat pikiranku semakin kacau saja. Saat Ratih duduk di sebelahku, Mirna berdiri katanya hendak membuatkan mi instan dan kopi panas. Ia menghampiri Tantri yang baru keluar dari kamar mandi memintanya agar membantu.

Kulihat di HP waktu telah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Sekuat hati kukerahkan agar kontolku kembali tidur. Tak enak didekat Ratih bila celanaku terlihat ada yang menonjol. Entar dikira tidak sopan atau bahkan ia malah marah.

"Masih pengantin baru kok malah berpisah?" Tanyaku mengawali obrolan.
"Memang kami pengantin baru tapi soal itu tuh sudah sering aku dan suamiku melakukannya sebelum menikah. Sebenarnya kami inginya fun aja namun saat sedang enak-enakan begituan eeh mamiku melihat. Jadi langsung deh kami dinikahkan."

Tantri dengan manja menceritakan pengalamannya. Karena agak kedinginan ia menaikkan dan menekuk kakinya ditempelkan ke dada. Payudaranya tampak tertekan membuat aku salah tingkah. Kulihat ia tak memakai CD karena tak ada lekukan segitiga di pantynya. Kontolku mulai bangun lagi. Untuk menutupi tonjolan maka kedua telapak tangan kutaruh di atasnya.

"Ngomong-omong kamu pasti pernah ya? Masak lelaki segagah kamu kok perjaka. Seminggu di sini sebenarnya aku ingin itu. Tapi kegiatan padat dan hanya hari ini serta esok libur. Lagian nglakuin di sini sama siapa? Apa sama bapaknya Mirna. Bisa ko nanti. Hahahaha."

Ratih bicaranya semakin panas saja. Lalu dengan sengaja tangan kirinya disusupkan hingga mengenai tepat di atas tonjolan kontolku. Enak rasanya.

"Punyamu besar juga ya. Berapa cewek sudah dimangsa elangmu ini?" Celoteh Ratih sambil mengusap-usap tonjolan kontolku.
"Jujur saja aku belum pernah kok. Aduh enak.." Saat tangan kananku hendak kumasukkan ke dalam panty Ratih, Mirna dan Tantri datang membawa mirebus dan kopi. Akhirnya kutahan hasratku untuk mengisi perut dahulu.

Karena capai kami berempat memutuskan untuk tidur di villa ini. Namun sebelumnya Ratih menelepon ketua kelompoknya mengabari tak bisa pulang. Ternyata semua penghuni dusunnya masih menonton hiburan dan tak bisa pulang karena hujan. Ratih, Mirna, dan Tantri tidur di kamar tengah sementara aku di ruang tengah sambil berjaga-jaga. Baru dua jam tertidur aku terbangun. Aku kebelet kencing. Agak ngantuk aku menuju kamarmandi. Saat pintu kubuka sedikit tercium aroma tinja menusuk hidung. Aku terkejut melihat pemdanangan indah campur menjijikkan di hadapanku.

Mbak Mirna tengah jongkok di atas closet jongkok tanpa tertutup selembar benangpun bagian perut ke bawah. Dengan wajah memerah Mbak Mirna justru terdiam kaku. Kulihat sambil menghirup aroma semerbak tampak jembut ikal hitam sangat lebat dibiarkan tumbuh subur mengelilingi liang senggamanya yang berwarna kemerahan. Terlihat pula ia berusaha keras mengejan agar tinja kuning keras yang masih menggantung keluar dari anusnya. Karena terus mengejan maka curr air pipisnya keluar memancar deras mengenai celanaku.

Liang tempiknya terus terbuka. Akhirnya tinja keras itu keluar juga seluruhnya. Mbak Mirna lalu berdiri menyiram closet lalu cebok. Aku yang dari tadi kebelet lalu berjalan kepojok lain kamar mandi lalu kencingku ku keluarkan. Kondisi kontolku sudah sangat tegak dan keras. Selesai itu aku hendak keluar namun Mbak Mirna mencegah. Kukira ia akan menamparku sehingga aku terus meminta maaf.

"Sudahlah Dik Rama, lupakan itu. Tapi kemarikan burungnya langsung aja masukkan ke tempik Mbak."

Mbak Mirna berusaha menenangkan aku. Mendengar ajakan gila itu aku justru kebingungan habis belum pernah sih. Kulihat Mbak Mirna membelakangiku kemudian membungkuk sambil pantatnya agak ditunggingkan. Badannya tetap mengenakan kemeja. Dua lubangnya nyaris tak terlihat tertutup rambut ikal lebat. Bau tempik campur tinja semakin menusuk hidungku. Tangan kanannya dijulurkan ke belakang hingga menggenggam erat kontolku.

"Alamak begini to rasanya. Ehh.. Mbak jembutnya lebat banget aku cabuti lho!"

Aku mulai menikmati kocokan lembut tangan Mbak Mirna. Iseng kucabut sehelai jembut saat ia terus menungging. Kuluruskan ternyata sekitar tujuh senti lebih. Lalu kucabut lagi sehelai demi sehelai. Aku dari dulu bila melihat gambar wanita bugil berjembut lebat sangat terangsang dan gemas. Terutama gambar-gambar wanita Jepang yang terkenal sangat subur. Apalagi melihat langsung seperti ini.

"Uhh Dik Rama nakal. Tempik Mbak sakit kalau dicabuti terus bulunya. Namanya orang gunung ya pasti lebat donk. Sudah masukin aja kontolmu. Pelan dulu." Mbak Mirna mulai tidak tahan. Saat kuraba tempiknya agak basah dan klistorisnya membesar.

Pelan-pelan kumasukkan kontolku dalam liang senggama Mirna. Pengalaman pertamaku merasakan senggama. Setelah masuk seluruhnya rasanya kontolku seperti ada yang menjepit. Lalu kumaju mundurkan pelan-pelan dan Mbak Mirna terus mendesah. Baru sekitar tigapuluh kali gerakan maju mundur pelan kontolku belum sempat kucabut sudah memuntahkan sperma dalam liang senggama Mbak Mirna. Mbak Mirna tenang-tenang saja. Rupanya walau belum menikah ia sudah sering bersenggama terutama waktu masih bekerja di Jakarta. Tetapi sudah hampir setahun ia hanya bermasturbasi. Paling sering menggunakan botol kecap ukuran kecil.

"Aduh maaf Mbak maniku kusemprot di dalam." Sesalku sambil memakai kembali celanaku.
"Tidak apa-apa Mbak sudah pengalaman. Kalau cuma segini tak berpengaruh." Mbak mirna juga memakai kembali celananya. Terlihat beberapa helai jembutnya rontok. Ia lalu pamit hendak tidur lagi.

Waktu menunjukkan tepat tengah malam. Dalam hati aku terasa mimpi telah bersenggama langsung dengan wanita. Akibat kelelahan aku tertidur lagi. Tiga jam kemudian terdengar HPku berbunyi. Aku terjaga.

*****

Ikuti kelanjutan kisahku ini ya! Tunggu saja.

E N D


No comments:

Post a Comment