Pages

Sunday, January 22, 2012

Aku selalu menyimpannya untukmu - 2

Bagian 4

Sore itu begitu terik. Ray melonjorkan kakinya di depan teras, pikirannya masih terasa sedikit di awang-awang. Pemuda itu tersenyum mengingat gadis yang baru saja menghilang di tikungan jalan. Satu hal yang mungkin tak bisa dimaafkannya adalah betapa tadi siang gadis itumenjejali mulutnya dengan daging kelapa muda, di saat ia memang sedang mencoba melupakan Enni dengan gayanya sendiri. Tapi Ray bisa memaafkannya saat mendadak gadis itu mengangkangkan kakinya dan menduduki kepalanya. Kelapa Saliva Muda. Ray terkekeh. Catat itu. Setidaknya itu menu baru yang bisa membuatnya sedikit sadar. Lagipula gadis itu sudah mengantarku pulang walau ia sedang sakit.

Ray memandang ke kejauhan. Matanya menangkap genio merah yang begitu dikenalnya. Ketua OSIS itu membungkukkan tubuhnya dan menatap wajah Ray dengan seksama, seakan memastikan pemuda itu sudah cukup sadar dari mabuknya. Ray balas menatap mata itu dengan melotot dan berseru pelan, "Boo!!"
Andre tertawa dan mendudukkan dirinya di sebelah Ray.
"Bisa saja kamu." Ray tesenyum dan memandang ke jalan.
"Ketahuan?"
"Seperti biasa," Andre menopangkan tangannya ke ubin, "Mereka curiga. Tapi lebih memilih untuk mengangkat tangan jika menghadapi alasan-alasan legalmu."
"Hehehe. Dasar manusia-manusia pengecut."
"Hush. Jangan berkata demikian."
Sifat itulah yang cukup untuk membuat Ray merasa sebal dengan sahabatnya yang satu itu. Sementara kata 'sok alim' tak pernah masuk dalam kamusnya. Mungkin Ray hanya berteman dengan Andre karena pemuda itu seorang ketua OSIS, kapten tim basket, anggota paskibraka, dan sama sekali bukan teman yang memalukan untuk diajak menggoda gadis-gadis. Walau toh pada kenyataannya Andre lebih banyak diam daripada ngoceh tak karuan seperti dirinya.

"Ray."
"What?"

Bagian 5

Nora menangis. Entah mengapa ia tak mampu menahan air matanya yang membanjir keluar saat pemuda itu tersenyum menatapnya sambil mengulurkan lengannya. Nora tak pernah merasa sebahagia itu dalam hidupnya. Tawa yang mengiringi air mata itu seakan merupakan perwujudan beban yang selama ini selalu menghimpit batinnya. Pemuda itu mendekap Nora dengan hangat, menempelkan pipinya ke pipi gadis itu dan membisikkan kata-kata yang bagaikan angin surga yang menghembus hati si gadis. "Aku selama ini masih mengharapkanmu."

Ya Tuhan, apakah semua ini hanya mimpi?

Nora tak bisa mengucapkan sepatah kata pun untuk menimpali pernyataan yang terlalu membuai itu. Pemuda itu mengangkat kepalanya dan mengecup kening Nora, membisikkan kata-kata itu lagi, "Aku sudah memaafkkanmu sejak dulu." Dan kenangan-kenangan itu berlalu, berlari, dan terhempasmelebur seakan diterjang oleh banjir air kehangatan dan kemesraan yang menyejukkan hati Nora."Maafkan aku.. maafkan..a.." Pemuda itu mengangkat dagunya dan mengecup bibirnya. Lembut sekali. Dan bahkan Nora rela mengesampingkan semua ideologi kesopanan sebulan yang selama ini selalu dipegangnya erat-erat dalam berhubungan dengan setiap lelaki. Kecupan ini begitu didambakannya. Siang dan malam. Pagi dan petang. Dalam setiap mimpi-mimpinya. Angannya.

Ya Tuhan, biarkanlah masa-masa ini kekal.

Satu hal yang Nora percaya. Ia sudah merasa lelah untuk berlari. Ia sudah merasa terlalu capai dengan pemuda-pemuda lain yang hanya mampu memberikan kehangatan, namun tak mampu meluluhkan hatinya. Karena Nora yakin seperti ia percaya, bahwa ia mencintai pemuda yang sekarangmendekapnya ini. Persetan dengan semua alasan belas kasihan dan ketampanannya. Yang penting pemuda ini ada di sini. Saat ini. Untuk memaafkan Nora dan memiliki hatinya. Memiliki? Benar. Nora akan menyerahkan bahkan kehidupannya untuk pemuda yang satu ini.

Ya Tuhan, komitmen ini dariku.. untuknya.. atas nama-Mu.

Bagian 6
Masih 1997, lima tahun tiga bulan berlalu.

Sentuh aku sesukamu. Nora mendesah saat jemari pemuda itu mendekap payudaranya. Gadis itu membalas kuluman si pemuda di bibirnya. Begitu hangat. Begitu mesra. Bora menggeliat, tangannya bergerak dan membuka kancing baju pemuda itu.

Ya Tuhan, terima kasih.

Pemuda itu membiarkan bajunya terlepas dan terjatuh melewati kakinya. Nora memejamkan matanya dan mengangkat kepalanya saat pemuda itu mengangkat kausnya melewati lengannya yang terangkat ke udara. Pemuda itu menciumi leher jenjang si gadis dan menelusurinya sampai ke permukaan payudara si gadis. Nora mendesah dan mengecup ubun-ubun pemuda itu. Lidah pemuda itu menyusup ke balik bra-nya dan menyentuh sedikit puting susunya. Nora menahan nafasnya, memudahkan pemuda itu untuk melepaskan pengait bra-nya.

Ya Tuhan, terima kasih.

Nora membiarkan pemuda itu menindih tubuhnya. Gadis itu membuka pahanya, pemuda itu menyusupkan tubuhnya. Lidah pemuda itu memainkan puting susu si gadis dengan gerakan yang perlahan tapi cukup untuk membuat desahan itu keluar dari bibir Nora. Pemuda itu mengangkat tubuhnya dan menempelkan bibirnya di bibir gadis di bawahnya, sementara jemarinya memainkan bibir vagina si gadis. Nora mengulurkan tangannya dan menggenggam batang penis yang menegang itu. Angannyamelayang seiring nafsu yang semakin bergejolak di benaknya.

Ya Tuhan, terima kasih.

Pemuda itu menarik celana dalam Nora dengan perlahan tapi pasti, membiarkan Nora jengah dalam ketelanjangannya. Jemari pemuda itu kembali memainkan bibir vagina Nora, membuat gadis itu menggelinjang dan terengah-engah. Nora mempererat genggamannya pada batang penis pemuda itu, menariknya seakan berusaha memasukkan batang penis itu ke dalam liang vaginanya yang masih perawan. Sesuatu yang gadis itu percaya pasti sering diimpikan pemuda-pemuda satu sekolah di kamar mandi saat bermasturbasi. Pemuda itu menopang tubuhnya dengan lengannya. Menatap wajah Nora dan melihat air mata gadis itu yang menitik ke pipinya. "Are you sure about this?" bisik pemuda itu. Nora memejamkan matanya, bibirnya sedikit membuka. Gadis itu menganggukkan kepalanya.

Ya Tuhan, terima kasih.

Pemuda itu mengangkat tubuhnya dari tubuh Nora. Nora menunggu, sedikit merasa tegang mengira-ngira perasaan apa yang akan muncul pada dirinya atas kepasrahannya. Nora memejamkan matanya rapat-rapat dan mengangkat lengannya. Nora menunggu batang penis itu menekan di liang vaginanya. Menunggu rasa sakit yang sering didengungkan orang-orang. Menunggu keperawanannya diambil pemuda impiannya.
Akhirnya.
Akhirnya mimpinya yang terindah tergapai.

Ya Tuhan, terima ka..

"Ngaca dulu dong. Emang lo pikir lo sape?"
Berulang-ulang di telinganya.
Sejak saat itu.
Selamanya.

Bagian 7
Sebuah penutup

Pemuda berambut sebahu itu menghisap rokok di jepitan bibirnya dalam-dalam. Matanya menerawang entah kemana. Hari itu pikirannya benar-benar jernih. Terutama sejak Enni mengobrak-abrik kamarnya dan membuang semua makanan anak sesat yang ia miliki dan tentu saja ia takkansanggup untuk menyakiti gadis yang begitu ia kasihi.

"Kamu mendengar, Ray?"
Ray menatap wajah Andre. Dan sekejap kemudian pemuda ini merasa ketakutan oleh senyuman yang mengembang di bibir sahabatnya. Perasaan horror ini membuat bulu kuduknya berdiri.
"Ya."
Andre menghela nafasnya dalam, memalingkan wajahnya ke arah pekarangan. Tapi senyuman itu belum juga hilang. Sebuah senyuman kepuasan dan kemenangan. Ray membiarkan suasana hening itu menambah kesan perasaan hatinya yang tercekam oleh aura horror di antara dirinya dan sahabatnya.

"Dan aku punya sesuatu yang ingin kusampaikan padamu."
"Ah?"
Ray tercekat. Aku.. aku..
"Terima kasih, Ray." Dan Andre menjatuhkan kepalanya di bahu Ray yang hanya bisa terdiam.

Aku Ray.
Membantu kelahiran monster ini tanpa sadarku.

Bagian 8
Bagian yang terhilang

Pemuda itu menghela nafasnya sebelum mulai bertanya. Ray hanya bisa cengengesan menatap wajah Andre yang berkerut-kerut.
"Sejauh mana pengertianmu tentang wanita?"
Ray terkekeh dan menjawab sekenanya, "Sampai aku bisa menceramahi kakekku sendiri."
Tapi Andre tak tertawa sama sekali.
"Bagaimana cara menyakiti seorang wanita?"
"Perkosa lalu ditinggal."
Andre mengerenyitkan alisnya.
"Yang tidak beresiko?"
Ray meruncingkan bibirnya, sejenak pikirannya yang masih sedikit kacau mengingat-ingat beberapa peristiwa yang sempat masuk di beberapa media massa.
"Dihamili lalu ditinggal?" ucapnya beberapa saat kemudian.
"Masih banyak single parents, Ray."

Mendadak Ray menegakkan posisi duduknya, tangannya mengacung di sisi kepalanya dengan sikap konyol, "Aku tahu!!"
"Apa?" Andre menatap Ray dengan penuh rasa ingin tahu.
"Tapi ini ra-ha-si-a," Ray mendekatkan bibirnya ke telinga sahabatnya.
Andre menunggu dengan tidak sabar.

"Buat ia tergila-gila padamu, rayu ia sampai ia rela untuk menyerahkan dirinya padamu, telanjangi ia, goda ia, buat ia terengah dan bernafsu, berikan padanya harapan yang muluk tentang perwujudan cinta, dan tinggalkan ketelanjangannya! Renggut harapan itu darinya. Voila, gadis itu akan terluka sampai ke akhir hayatnya."

Ray tertawa terbahak-bahak, begitu bangga pada dirinya.
Andre tersenyum.

Dahulu,
Aku tahu aku anak lusuh yang miskin.
Aku tahu aku buruk, gendut seperti babi.
Aku tahu aku tak pandai berkelahi.
Aku tahu aku menyukaimu dalam khayalku.
Aku tahu aku AKAN menyimpannya untukmu.

dan sekarang,
Aku tahu aku anak seorang pengusaha terpandang.
Aku tahu aku tampan, gagah bagaikan pangeran dalam dongeng.
Aku tahu aku menakutkan dengan reputasi yang melekat padaku.
Aku tahu aku menggilakanmu atas semuanya itu lewat suratmu.
Aku tahu aku MASIH menyimpannya untukmu.

"Ngaca dulu dong. Emang lo pikir lo sape?"
Berulang-ulang di telinganya..
Sejak saat itu..
Selamanya..

TAMAT


No comments:

Post a Comment