Pages

Saturday, December 17, 2011

Sang pejantan - 1

Seperti nyala lilin, kehidupan adalah sebuah pengabdian. Sebuah proses memberi yang tak pernah berhenti. Filosofi ini tak lahir dari seorang idealis yang cendekia. Juga tak mencuat dari otak bernas seorang manusia teladan yang patut dibanggakan. Ia milik seorang wanita desa sederhana yang cuma sempat mengecap sekolah di bangku kelas 1 SLTA.

Namanya Sumiati. Wanita pendiam yang tidak hanya taat kepada orang tua dan keluarga, juga agama. Persepsi bahwa kehidupan merupakan wujud pengabdian yang tak harus berhenti kepada keluarga, ditanamkan kedua orang tuanya sejak Sumiati kecil.

Ayahnya lelaki desa kebanyakan yang tumbuh menjadi pria keras karena sulitnya kehidupan. Itu membangun watak lugu sekaligus otoriternya dalam mendidik semua anak-anaknya. Khususnya Sumiati yang manis dan sebenarnya menyimpan daya tarik seksual tersembunyi.

Faktor inilah yang membuat Sumiati secara tidak sengaja, jatuh di tangan seorang lelaki tua namun kaya yang punya Perkebunan Kelapa Sawit cukup luas di desa A, tempat keluarga Parto, ayah Sumiati bekerja.

Budiarta, atau biasa dipanggil Tuan Budi, secara tak sengaja suatu hari melihat Sumiati mengantar makanan kepada Ayahnya yang sedang bekerja pada pembangunan koridor pengangkutan tandan kelapa sawit miliknya. Cukup sekali itu, entah oleh magnit apa, Budiarta yang sudah berusia 61 tahun langsung kemudian tak bisa lagi melupakan gadis pendiam bertubuh indah dan padat itu.

Melalui kebayanya yang sederhana, pengusaha perkebunan yang sukses dan sudah menduda lebih 15 tahun sejak bercerai dengan istri ketiganya ini, bisa membayangkan bagaimana lekuk tubuh Sumiati. Bagaimana bentuk buah dadanya yang montok dan agak besar, pinggulnya yang penuh berisi, sampai bagaimana gelinjang dan geliat gadis itu, jika dirangsang dalam ketelanjangannya.

Budiarta mencoba menghapus dan membuang semua pikiran liar itu, karena sadar kondisi dirinya. Namun semakin dibuang, kian meradang keinginan untuk menguasai gadis desa itu. Puncaknya, suatu hari, diam-diam dia meminta Parto membawa anaknya ke villa tempat peristirahatannya di tengah perkebunan kelapa sawit yang luas itu.

Di sanalah dia bisa melihat dan meneliti sosok Sumiati dari dekat. Bukan main. Ini kesimpulannya. Gadis itu benar-benar memiliki daya tarik seksual luar biasa. Sumiati seperti mutiara yang belum terpoles, atau berlian yang tersaput lumpur. Sekali dia bersih, maka pesonanya akan memancar cemerlang.

Melanggar tekadnya sendiri untuk melewati hari-hari tuanya secara tenang sendirian di perkebunannya, Budiarta nekat melamar Sumiati sebagai istrinya. Tentu saja ini bagai durian runtuh bagi Keluarga Parto. Dan Sumiati sendiri, yang semula sempat terkejut karena sadar harus mendampingi seorang pria tua sebagai suaminya, kemudian menepis semua pertimbangan dari tuntutan naluri wajar yang ada di dalam dirinya, sebagai seorang gadis belia.

Dia harus menerima lamaran Sang Tuan, melupakan tuntutan egonya, sebagai bentuk apa yang diajarkan selama ini oleh Ayahnya. Pengabdian kepada keluarga. Kepada usaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka.

Perkawinan itupun berlangsung dengan meriah. Membuat Desa A bagai tenggelam dalam kenduri panjang yang terus berdegup kencang. Dan di balik itu, Ibu Sumiati terus mengajarkan kepada anaknya, bagaimana caranya melayani seorang suami dengan baik. Secara khusus di tempat tidur. Sumiati mendengar dan menyimaknya dengan jantung tak henti berguncang. Membayangkan kelamin lelaki dalam keadaan tegang, besar dan keras, seperti sempat secara tak sengaja dilihatnya. Saat itu dia terbangun tengah malam dan ingin kencing di dapur.

Dari balik sumur tiba-tiba dia mendengar suara Ibunya. Entah keluhan, atau sejenisnya. Begitu dia mengendap dan melihat lebih jelas, matanya terbelalak dengan jantung seolah berhenti berdegup. Dia saksikan dengan pakaian sudah terbuka, Ibunya sedang bersandar di pohon dekat sumur, dengan sebelah kaki terangkat, sementara di depan, Ayahnya, dengan kelamin yang besar dan tegang sedang bersiap menyetubuhinya. Dengan ketakutan dia segera menjauh dari sana.

Namun bayangan itu, penis ayahnya yang besar dan keras, kelamin Ibunya yang siap menerima penis itu, tak pernah dia lupakan. Sesuatu yang membuat bagian bawah tubuhnya menjadi berdenyut, gatal dan luar biasa peka terhadap sentuhan. Badannya kadang sampai menggigil dan pikiran- pikiran aneh yang berkaitan masalah itu, dengan keras segera dia lupakan.

Sekarang, dia akan menjadi seperti ibunya. Budiarta memang sudah tua, tetapi sebagai orang kaya yang hidupnya terpelihara serta rajin olahraga, pria itu tetap kelihatan agak kekar. Berarti penisnya juga pasti masih perkasa. Itu yang belakangan ini menggoncangkan perasaannya.

Sebenarnya tak beda jauh dengan Budiarta sendiri. Gambaran tentang kemolekan tubuh Sumiati, aroma keremajaannya, keranuman kewanitaannya, bangun tubuhnya yang padat karena selalu bekerja cukup keras untuk membantu mengatasi kemiskinan keluarganya, membuat otak Budiarta seperti gila. Meski ada keresahan yang tak habis menyelimuti batinnya.

******

Malam yang dinantikan oleh keduanya itu tiba. Secara perlahan, di kamar pengantinnya yang mewah, di lantai yang sudah dihampari kain sofa yang tebal, Budiarta melepaskan pakaian Sumiati satu persatu. Gadis itu sendiri terus menunduk sambil membiarkan dirinya pasrah untuk diperlakukan apapun.

Tak lama kemudian, Sumiati sudah tergolek di atas lantai dengan telanjang bulat. Gadis itu terlihat berusaha menutupi buah dadanya yang sintal, serta kelaminnya yang ditumbuhi bulu agak lebat. Namun Budiarta selalu mencegah usaha itu. Lelaki ini kemudian mengambil botol madu yang sudah disediakannya.

Lalu secara pelan menumpahkan madu tersebut ke sekujur tubuh telanjang Sumiati, yang membuat gadis yang lebih banyak memejamkan matanya ini menjadi kia gelisah. Apalagi ketika tanngan lelaki itu, mulai meratakan ke seluruh permukaan tubuhnya.

Dengan gemetar, nafas memburu oleh nafsu, pria tua yang hanya mengenakan celana pendek ini, mulai menciumi dan menjilati sekujur tubuh Sumiati. Kedua tangan Sumiati direntangkan ke atas kepalanya. Ketiak gadis yang berbulu halus itu, dia ciumi dan jilati. Jilatan itu meluncur turun-naik ke sana kemari.

Ciuman dan jilatan serta hisapan itu benar-benar bagai bara yang membakar. Membuat gadis desa yang tak pernah seumur hidupnya disentuh pria ini menjadi tersentak-sentak, gelisah, dan terengah-engah menahan gelora perasaan dan emosinya yang bangun menggelora.

Makin lama, ciuman, jilatan dan hisapan Budiarta semakin ganas. Kedua puting buah dada Sumiati bergantian disedot dan diremas-remasnya. Bahkan wajahnya dengan kuat digosokan ke sana, membuat benda padat yang tegak menantang itu menjadi penyek dan terdorong kesana-kemari. Sementara tangan Buidarta terus mengusap, menggosok dan meremas bagian vaginanya. Memutar dan menusuk-nusuk di sana.

Sumiati tak tahan lagi untuk mengeluarkan suara-suara liarnya, meski masih terdengar perlahan, pada saat kedua pahanya dikangkangkan, kemudian Budiarta menciumi, menghisap serta memainkan lidahnya di vagina dan bibir kelamin yang basah oleh lendir bercampur madu itu.

Sumiati mengerang nyaring kemudian mengejang, berpegangan keras di kepala Budiarta, pada saat sesuatu yang luar biasa, fantastis dan melambungkan dirinya ke dalam kenikmatan yang tak bertara datang dari dalam dirinya. Ini orgasme pertama yang pernah dirasakannya. Sesuatu yang pernah diceritakan Ibunya, kalau penis lelaki secara intensif keluar masuk di dalam vagina wanita.

"Itu sorga dunia, Nduk".

Budiarta nampak terengah-engah, menyaksikan gadis yang memandangnya dengan mata sayu, hanyut jauh oleh nafsu dan kenikmatan itu. Tapi mengapa dia belum juga membuka celana pendeknya, mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi --meski malu-- ingin sekali disaksikan Sumiati. Sesuatu yang menurut Ibunya tak masalah jika kau jilat, kau hisap, dan kau telan air yang akan keluar menyemprot dari sana. Air cikal-bakal kehidupan fisik seorang manusia.

Mengapa benda yang tegar, perkasa dan penuh pesona itu tak juga ditunjukan serta diberikan kedirinya untuk bisa ganti dia rangsang?

Pertanyaan ini membayangi perasaan Sumiati, ketika Budiarta kembali memperlakukan dirinya seperti tadi. Menjilatinya, menghisapnya dengan ganas. Bahkan membalikanan tubuhnya, mengangkat pangkatnya, kemudian menjilati anusnya yang membuat dia berpegangan di sofa tebal yang empuk tersebut dengan tubuh menggigil dan tersentak-sentak menahan getaran nikmat tak terlukiskan.

Sumiati kembali merasakan orgasmenya. Kali ini bahkan lebih hebat dari yang pertama, karena membuatnya tanpa sadar terpekik dan mengejang sangat lama. Nafasnya kemudian memburu kencang, seperti telah berlari naik gunung. Budiarta kemudian menjatuhkan tubuhnya ke sisi gadis itu. Tergolek di sana. Lama. Sumiati berusaha bangun dan diam-diam merasa tidak mengerti, mengapa celana pendek suaminya itu tak menunjukan sesuatu yang sedang berdiri keras di baliknya. Sesuatu yang tegang dan sejak tadi dibayangkannya mirip seperti kepunyaan Ayahnya. Apa sebenarnya yang terjadi?

Dengan agak ragu, namun dibekali peringatan Ibunya, agar dia bisa memberikan "pelayanan terbaik" untuk suaminya, Sumiati pelan-pelan menyentuh celana itu. Budiarta cuma diam membisu. Malah dia kemudian menurunkan celana terbut, menunjukan kelaminnya yang -astaga- ternyata kecil, lembek dan mirip punya adik lelakinya yang diam-diam sering dia saksikan di rumah.

Inikah yang pernah dia dengar tentang impotensi? Ketidakmampuan seorang lelaki untuk melakukan hubungan seksual? Apakah itu karena pria ini sudah tua, dan wajar seorang pria seperti dirinya tak bisa gampang lagi memfungsikan alat kejantanannya? Atau dia harus berperan lebih berani dan aktif, seperti yang telah diajarkan Ibunya?

Pikiran ini, membuat Sumiati pelan-pelan meremas penis yang lunglai itu dengan tangan gemetar. Lalu akhirnya menunduk dan mulai menjilatinya. Budiarta cepat membuka kakinya lebih lebar. Sumiati memasukan penis itu ke dalam mulutnya. Mengecup, kemudian mulai menghisapnya, seperti biasa dilakukan bayi terhadap ibu jarinya.

Tubuh Budiarta kelihatan menggeliat-geliat menahan nikmat. Tapi berlalu tiga, lima, bahkan sepuluh menit, penis itu tak juga mau tegang. Ada memang perubahan, karena tak lagi selembek tadi. Tapi tetap saja lemah. Dan mendadak Budiarta menjauhkan wajah Sumiati lalu menggeleng dengan wajah sedih. Sumiati terpana.

Bersambung . . . .


No comments:

Post a Comment