Pages

Friday, December 23, 2011

The power of love - 7

Sidang skripsi sukses dilewati Niki. Kesibukan selanjutnya adalah lamaran dari keluarga Yogi yang sudah lama dipersiapkan. Niki masih harus meminta tandatangan pengesahan kepada para penguji dan menyelesaikan beberapa kewajiban administrasi, sementara Yogi tidak dapat mengantar karena mengurusi keluarganya dari daerah. Untuk itu Niki memintaku mengantarnya.

Niki sangat berhati-hati, menjaga jangan sampai terjadi kesalahan fatal yang dapat membatalkan perkawinannya. Makanya waktu kami sempit sekali, kebersamaan kami hanya selama perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Untung beberapa tanda tangan dapat di dapat dengan mudah, sehingga kami punya kelebihan waktu hampir satu jam. Kami mampir di kedai eskrim yang dulu biasa kami datangi.

Kedainya unik, di lantai satu berjajar meja dan kursi seperti warung biasa. Di lantai dua menggunakan sofa empuk berbentuk melingkar dengan sandaran tinggi untuk sepasang, sehingga setiap pasangan yang duduk tidak kelihatan oleh pasangan lain kecuali oleh yang lewat saat baru datang atau mau pulang. Lantai tiga menggunakan sofa yang sama, tapi posisinya diatur saling membelakangi, sehingga kalau mau melihat benar-benar harus melongok. Posisi ini membuat kapasitas bangkunya lebih sedikit dibandingkan lantai dua, dan selalu penuh.

Aku memesan di lantai tiga yang untungnya masih tersedia satu sofa, paling pojok lagi! Kami memesan jenis yang gampang dan cepat lalu bergegas ke atas. Sementara Niki ke kamar mandi, aku melepas sepatu, sabuk dan mengeluarkan kemeja dari celana. Niki kembali bersamaan dengan datangnya pesanan, kami langsung bersila di sofa menikmatinya.

Niki menyadarkan kepalanya ke bahuku, kuusap rambut dan pipinya.
"Yang.., makasih yaa, kamu banyak bantu aku.." Niki berbisik di telingaku, aku tidak menjawab, hanya memeluk dan mengecup keningnya.
"Cium aku dong Yang..!"
Kucium bibirnya dengan lembut, dan kami berciuman panjang. Lalu lidah kami mulai ikut aktif, saling menyentuh, membelit, dan akhirnya tanganku pun ikutan. Kami saling berciuman mesra, sesekali ciumanku mendarat di lehernya yang jenjang. Niki hanya menggeliat kegelian diperlakukan seperti itu.
"Oohh.. Yaang..!" suara manjanya menusuk ke telingaku.

Sambil berciuman, buah dadanya yang montok kupegang, kuremas lembut untuk merasakan ketegangannya. Niki hanya dapat mendesis menahan keenakan yang dirasakan. Kancing blusnya kubuka satu persatu sambil tetap mencium dan mengecup wajahnya, dan akhirnya tersisa satu yang paling atas (seperti biasa). Kuteruskan dengan membuka kaitan BRA-nya yang kuselesaikan dengan mudah. Ciumanku bergerak ke pangkal dadanya yang kenyal, juga putingnya. Kepala dan rambutku diremas dan dipeluk erat ketika putingnya kuisap.
"Aah.. mmhh..!" rintihannya membangkitkan nafsuku.

Suasana hening dan dingin AC membangkitkan nafsu birahiku. Kami terus berpelukan erat sambil berkecupan mulut. Buah dadanya terasa hangat bergesekan dengan dadaku. Tangan kiriku mulai menyusuri pahanya yang bersila, menyusup ke dalam roknya. Niki mengangkat sebelah kakinya dan jariku langsung menyentuh bulu halus yang melingkari vaginanya, Niki sudah melepas CD di kamar mandi. Lalu jari-jariku mulai menyelinap ke dalam liangnya yang basah, mengocok dengan jari tengah dan memainkan klitoris dengan jempol. Niki berusaha menekan suara rintihannya selembut mungkin.

Nafsu yang menggelora membuatku makin nekat, dengan berjongkok aku menciumi vagina Niki, lidahku menggelitik klitoris, kadang menyelusup ke dalam liangnya. Niki hanya dapat menghentak dan mengejang, tidak berani bersuara keras. Tubuhnya merosot di sofa membiarkan pahanya mengangkang menikmati jilatanku. Sementara sambil berjongkok menjilati kemaluannya, celanaku sudah turun dan batangku yang keras sudah lepas dari sarangnya.

Vagina Niki sudah berdenyut di lidahku, pahanya mengejang hampir orgasme. Aku bangkit dan beralih mencium lehernya, Niki terkejut melihat aku menggenggam batang kemaluan yang tegak mengacung.
"Jangan nekat dong, Yaang..!" ia mencoba bangkit.
Tapi nafsuku sudah tidak dapat diajak kompromi, tubuhnya kutindih sambil menciumi lehernya, ia berusaha merapatkan paha tapi terganjal lututku. Dengan mudah tongkatku menemukan liangnya yang basah dan langsung menusuk dengan kuat.

"Yang, kamu nekat. Malu dong.. Yang.., ahh..!" ia merintih lirih, tapi pinggulnya menggeliat dan vaginanya meremas tongkatku dengan jepitan yang luar biasa.
"Yang.. kamu nakal.. jahat..!"
Hanya dalam beberapa menit Niki mengejang dan memelukku erat, disusul orgasmeku beberapa detik kemudian.

Setelah istirahat sekitar lima menit, kami langsung beres-beres di kamar mandi. Tidak ada waktu untuk santai-santai, kami harus cepat pulang. Dalam perjalanan Niki berdiam terus, setiap kutanya selalu dijawab pendek-pendek. Aku merasa ada yang tidak beres.
"Kamu marah Ki..?" tanyaku.
"Ya marah dong..!" jawabnya ketus, "Kalo di situ kita cipokan, pelukan, kobel-kobelan sih wajar aja. Dulu juga kita sering." ia meneruskan.

Aku agak terkejut, cara bicaranya menandakan ia benar-benar marah.
"Mentang-mentang aku butuh kamu, doyan kontol kamu, terus bisa diajak ngentot di tempat sembarangan..!" Niki nyerocos terus, belum pernah ia bicara sekasar ini.
"Sorry, kirain.." aku mencoba menjawab, tapi langsung dipotong.
"Kirain apaan? Kirain aku pengen..? Aku menikmati..? Aku orgasme? Iya memang, aku pengen, menikmati, dan orgasme, tapi karena aku memang selalu orgasme kalo kena kontol kamu..!" suaranya makin meninggi.
"Mustinya kamu jaga dong. Hargai dong aku, kaya cewek apaan aja, bisa dientot dimana aja.. jangan mentang-mentang kontolnya dibutuhin..!"

Aku merasa sangat bersalah, sangat menyesal tapi mau apa lagi. Gara-gara mengikuti nafsu!
"Ki, aku memang salah. Salah banget sama kamu." aku terdiam tidak mengerti harus ngomong apa.
"Aku nggak bermaksud membela diri, tapi sejak bisa ngaceng lagi tiap saat aku selalu sama kamu. Dua bulan nggak ketemu nafsuku udah ke ubun-ubun, aku gelap mata.." aku coba berdalih.
"Lagi, sesudah ini kita tidak mungkin ketemu lagi. Makanya aku jadi nekat, maafin aku yaa Ki..?"
"Mas.., aku sayang kamu, jadi pasti kumaafkan, cuma aku kecewa sama kamu.."

IV. Babak Keempat: Dan Semua Harus Berakhir..!

Demikianlah, aku tidak menyangka hubungan kami jadi begini. Aku kecewa kepada diri sendiri, yang membuat kebersamaan yang kami bangun berakhir buruk. Otakku buntu, tidak tahu harus berbuat apa kepada Niki.

Sesudahnya kami ketemu seperti biasa di kantor. Niki nyaris tidak berubah, ia masih ber 'Hai..' dengan suaranya yang khas, terima telpon di ruanganku, dan kadang mendatangi mejaku seperti dulu. Tapi aku tidak berani lagi macam-macam, serba salah menghadapi Niki dalam situasi seperti ini.

Kekuatan Cinta: November 1996 ..

Aku surprise karena Niki meninggalkan pesan di laciku, ia ingin ketemu besok sore. Rasanya aku ingin bersorak dan meloncat-loncat mendapat kabar itu.

Besoknya, di tempat yang dijanjikan aku dijemput Niki. Ia manis sekali dengan kemeja kembang dan celana pendek, tapi agak kurus dan nampak lelah. Seperti yang dipesan, aku sudah menyiapkan massage gel dan minyak lulur. Selama perjalanan Niki sangat ceria, kami ketawa-ketawa seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Aku meremas tangan kirinya yang memegang versneling, seperti yang biasa kami lakukan dulu.

"Di sini dong megangnya, emangnya nggak kangen?" Niki memindahkan tanganku ke lututnya.
Aku ketawa, "Kangen bangeet..!" kataku sambil mengusap pahanya perlahan, terus naik sampai ke pangkalnya.
"Pindah belakang dong..!" lanjutnya.
Aku tergelak lalu merebahkan jok kursiku, lantas melompat ke belakang untuk 'memijat'-nya.

Kami langsung check-in di Hotel 'S' di Bandara yang menurut Niki 'aman'. Selesai aku memindahkan bawaan ke kamar, Niki sudah mencopot pakaian luarnya dan berbaring di tempat tidur berselimut handuk.

"Mas, aku dipijit dulu yaa..!" kata Niki manja.
Aku naik ke tempat tidur membawa massage gel, "Habis pijit terus ngapain..?" tanyaku sambil menggosoki telapaknya.
"Aku tidurr.." jawabnya.
Kugelitik pinggangnya, ia menjerit-jerit minta ampun.

"Udah telungkup, celananya buka sekalian.. nanti kotor kena minyak..!" kataku.
Ia berbalik menelungkup. CD-nya kutarik lepas, lalu kulipat rapi. Aku mengurut kakinya mulai dari telapak terus ke betis dan pahanya. Sambil kupijat dengan perlahan, Niki cerita tentang persiapan perkawinannya yang kurang dua minggu lagi. Ia nampak lelah oleh berbagai urusannya. Kurasakan lewat jari-jariku ototnya keras dan kaku, maka kupijat hati-hati dengan tekanan yang tepat agar ia rileks.

"Kamu kecapean Ki..?" kataku sambil menggosok punggung.
"Memang.." katanya, "Makanya, bikin aku segar dong..! Habis ini nggak mungkin lagi kita ketemu.." tiba-tiba ia terdiam agak lama, baru melanjutkan, "Aku sedih kehilangan kamu Mas..!"
"Kamu akan bahagia.." aku menenangkan.
"Mudah-mudahan.." ia berkata lirih.
"Udahlah.., kamu pasti bahagia, sekarang rileks aja.. tuuh ototmu di sini kaku banget." aku mengalihkan pembicaraan.

Kugosok dengan lembut lengannya, terus turun ke telapak tangan dan jarinya. Tidak lama kemudian ia tertidur, kuselimuti tubuh telanjangnya dengan handuk, lalu kutinggal mandi. Selesai mandi aku berbaring sambil menunggu ia bangun.

Sekitar satu jam kemudian ia terjaga, langsung memelukku, "Dingin.." katanya.
Aku balas memeluknya, punggungnya kugosok supaya hangat. Dadanya yang lembut kenyal menempel rapat di dadaku hingga detak jantungnya dapat kurasakan. Kami berciuman mesra sambil tetap berbaring berpelukan.

"Mas, sayang Niki nggak..?" ia bertanya seperti remaja pacaran.
Aku mengiyakan, mencium keningnya, "Ini terakhir kita begini. Dua minggu lagi aku married.." katanya, lalu, "Senengin Niki yaa Mas..! Puasin..! Abis ini bantu Niki jadi isteri setia yaa..!"
Aku mengangguk, sementara bibirku mulai menciumi lehernya.

"Kamu tau nggak ini tanggal berapa..?" Niki kutanya, ia menggeleng.
"Dua tahun lalu, tanggal ini pertama kali burungku masuk ke lubangmu." kataku.
Ia surprise, "Masa.., ulang tahun penusukan dong..!" katanya sambil memegang batangku yang setengah tegang.
Kubiarkan ia mengelus senjataku, sementara aku menciumi dadanya, menjilati putingnya, lalu turun ke perutnya. Niki mendesah lirih sambil meremas pelan batangku yang digenggamnya.

Dari perut, jilatanku beralih ke lipatan pahanya. Niki medesah sambil sebelah tangannya menjambak rambutku. Aku mecoba bertahan tidak menyantap bibir vagina yang terpampang menantang di depanku. Kujelajahi paha Niki perlahan dengan lidahku, meluncur ke betis terus ke ujung kaki. Aku bertekad mengulang seingatku, apa yang kulakukan dua tahun lalu.

Niki mulai mengejang saat lidahku pindah ke kaki sebelahnya menyusuri paha, terus menuju pangkalnya yang mengangkang lebar. Ia merintih lirih, tidak sabar menunggu penjelajahan lidahku, maka sampai di pangkal paha bibir luarnya, langsung kujilati. Semakin turun jilatanku ke dalam celah, Niki makin menggeliat. Akhirnya saat lidahku menyapu klitorisnya Niki melonjak, mulut vaginanya bergetar menyambut lidahku. Erangannya semakin menjadi-jadi.

Aku berlutut di antara kedua pahanya yang mengangkang, mengarahkan batangku, kugosok-gosokkan kepala kemaluanku di mulut vaginanya. Niki menghentakkan pinggul mencoba meraih batang kemaluanku dengan liangnya yang basah, tapi kubiarkan dulu supaya ia makin penasaran. Perlahan aku mulai mengarahkan batangku ke liang vaginanya. Kutekan pelan, Niki menggigit bibirnya dan mendesah, "Ahh.. Mass..!"

Begitu masuk setengah, batang kemaluanku kutahan, kuputar kiri kanan sambil kutarik sedikit, baru kudorong lagi. Sensasi ini membuat Niki menggelinjang dan meracau. Putar kiri kanan, tarik sedikit, lalu dorong lagi, dan akhirnya.. "Bless.." batang kemaluanku terbenam penuh di lubang kemaluannya.

Niki mendesah dan mengangkat pinggul, membiarkan kemaluanku menyesaki liangnya, pinggulnya bergerak liar dengan jemarinya menancap di pundakku. Goyangannya membuatku terengah-engah menahan nafsu, Niki hari ini luar biasa sekali, pikirku.

Sejurus kemudian, Niki membalikkan tubuhku dan menekan pundakku hingga telentang di atas tempat tidur. Dengan posisiku sedemikian rupa, ia mengangkangi batang kemaluanku dan mendudukinya. Erangan keluar dari mulutku saat Niki bergerak maju dan mundur. Ia lalu mengatupkan kedua pahanya, menempelkan telapak kakinya di dadaku, membuat kemaluanku serasa dijepit.

Niki mulai berkeringat kelelahan, kubalikkan lagi tubuhnya, ia mengangkat kedua betisnya ke pundakku. Rintihan keluar dari tubuhnya yang menegang, kutekan batang kemaluanku melesak dan menggerakkannya lebih cepat. Tubuh Niki menggelinjang lalu vaginanya mulai meremas, menandakan hampir orgasme.

Aku diam sesaat merasakan remasan Niki yang dahsyat. Kami berdiam sambil bibir bertautan, hanya geliat-geliat pinggul Niki melengkapi remasan vaginanya di sekujur batangku. Lalu aku mulai bergerak naik-turun perlahan, kutancapkan batangku setengah lalu kutarik lagi, satu.. dua.. tiga.. sampai tujuh kali. Pada tusukan ke delapan kutekan penuh sambil kugoyangkan. Niki menjambak rambutku dan membuka lebar pahanya. Kugenjot terus dengan kombinasi lambat dan cepat, kuobok-obok isi kemaluannya dalam irama goyang-goyang tekan, goyang-goyang tekan, membuat ia mengerang dan menjerit kecil.

"Ohh.. Mass.. kamu nakal..!" bisiknya seraya meremas-remaskan vagina.

Aku bertumpu pada lutut menggenjot penisku keluar masuk vagina Niki yang semakin berdenyut.
"Yangg.. aduuh.. keras banget.. oohh..!" Niki bergetar, pinggulnya naik turun, berputar kiri kanan dengan teratur.
Goyangan pinggul dan pantatnya tambah menggila dan liangnya seakan mau melumat habis dan mematahkan penisku. Gelinjang pantat dan pinggul Niki makin menjadi-jadi, menggelepar dengan mata merem-melek. Niki mencakar punggungku tanda mau orgasme.

Tiba-tiba, "Yaang.. aduuh.. gilaa.. uuhh..!" dia sekali lagi mencakariku, itu memang kebiasaannya kalau meregang menahan klimaks luar biasa.
Aku terus menggenjotkan penis dengan teratur sambil konsentrasi merasakan nikmat yang semakin mendesak di ujung penisku. Gelombang dahsyat yang menyedot seluruh perasaanku menyembur dari ujung kemaluan, memancar dalam di liang vaginanya. Aku mengejang beberapa detik, lalu terkulai dalam pelukannya.

Kami menghabiskan waktu dengan berpelukan, mengenang cerita masa lalu, dan membakar surat-surat, lalu sebelum pulang aku minta lagi, Niki tidak keberatan.

Akhirnya dua minggu kemudian Niki menikah. Aku tidak tahu apakah aku dapat melupakannya. Mungkin Niki akan sepenuhnya mengurusi rumah tangga, suami pilihannya, dan aku tinggallah jadi masa lalunya.

Penutup:

Saat membantunya menyiapkan resepsi, aku tetap tidak dapat konsentrasi, pikiranku masih tentang hari-hariku setelah ini. Apakah aku sanggup untuk tetap 'berteman' tanpa meremas tangan, mengusap pangkal paha, meremas dadanya? Apakah aku sanggup untuk membantunya jadi 'isteri setia'?

Ketika memeriksa gedung, Yogi bersama beberapa teman panitia sibuk memeriksa kelengkapan di tempat terima tamu, sedangkan Niki bersamaku dan Ranti (seorang temannya) memeriksa pelaminan. Saat Ranti menjauh, Niki meraih selangkanganku yang terhalang kursi dari pandangan orang-orang sekitarku, diam-diam ia meremas batangku yang langsung mengeras.

"'Ki, nekat kamu..!" ujarku lirih.
"Biarin.. gemess..! " ia menjawab dengan cuek, malah menarikku ke balik sekat dan melumat bibirku, sambil bawah perutnya menggesek-gesek batang kemaluanku.

Ahh.., Nyonya Yogi.. perlukah aku berubah..!

TAMAT


No comments:

Post a Comment