Pages

Sunday, December 25, 2011

Menara hati - 2

"Kamu bolos lagi?" tanya Febrita dengan alis berkerut.
"Tolong, Feb. Ini yang terakhir. Aku kan sekarang ulang tahun. Mana mungkin Papa dan Mama mengijinkan aku keluar sampai malam?"
Dengan menggelengkan kepalanya Febrita melambai, "Iya deh. Tapi jangan lupa katakan pada Natan kalau aku juga ingin punya cowok."
Sambil tertawa kupeluk sahabatku. "Kamu baik deh."
"Dari dulu," ucapnya pendek.

"Bagaimana?" tanya Natan yang sudah menunggu di lapangan parkir. Kumiringkan kepalaku sedikit dan mengembangkan senyumku. Natan tertawa dan melangkah ke samping mobil, membukakan pintu untukku. "Silahkan Tuan Puteri."
"Kita ke mana?" tanyaku setelah mobilnya meluncur di jalanan. Natan menggenggam jemariku dan menatapku. "I have something for you."
"Oh, ya?" tanyaku ingin tahu.
Setelah parfum, gaun, gelang sampai ke kalung selama enam bulan hubungan kami, apa lagi yang akan diberikannya sebagai kejutan untukku? Pasti sesuatu yang istimewa mengingat hari ini ulang tahunku.

"Welcome to my humble house," ucap Natan setelah membukakan pintu untukku. Dalam hati aku merasa sesuatu yang tidak benar sedang berlangsung di sini.
"Nat, nanti kalau ada orang tua kamu bagaimana?"
"Mereka sedang di Jakarta, hanya ada pembantu dan sopir."
Kuangkat kepalaku dengan ragu-ragu, memandang rumah besar yang pasti dua kali lipat rumahku itu di depan mata. "Ayo," bisik Natan di telingaku dan menutup pintu mobil. Sesaat kemudian pemuda itu sudah menyeretku melintasi pagar menuju pintu ruang depan yang terbuat dari kayu jati berukir.

"Tutup mata," bisiknya seraya tersenyum misterius di depan wajahku.
"Nggak mau ah," jawabku masih ragu-ragu.
Natan tertawa dan meletakkan jemarinya di kedua mataku. "Ayo tutup, ini kejutan."
Akhirnya kututup mataku dan kudengar suara pintu dibuka. Natan menuntunku masuk dan melangkah beberapa detik sebelum berkata, "Sekarang pelan-pelan duduk."
Mengikuti kata-katanya kududukkan tubuhku dan merasakan keempukan sofa di bawahku.
"Natan?" tanyaku saat merasakan pegangannya lepas dari lenganku.
"Ssshh," kudengar Natan berbisik tak jauh dariku.
"Buka mata," akhirnya kudengar Natan berkata lembut.

Delapan

Tak ada kata yang bisa kuucapkan saat melihat apa yang kulihat di hadapanku saat itu. Bermacam hidangan terhampar di sebuah meja kayu, dua batang lilin menyala di tengah-tengah meja, memberikan sedikit cahaya di ruangan yang remang-remang karena jendela ditutup.
"Natan," bisikku lirih. Di sisi lain meja, Natan dengan tersenyum membungkukkan tubuhnya dan mengangkat naik sebuah kue taart cokelat dengan lilin berbentuk angka di atasnya.
"Selamat ulang tahun, Mia."
"Natan," lagi-lagi hanya namanya yang bisa kubisikkan.
Perlahan kurasakan wajahku memanas dan air mata menetes di pipiku. Natan bangkit berdiri, menghampiriku dan memeluk leherku dari belakang.
"Kok nangis? Kamu nggak suka?"
Bagaimana bisa tidak suka? Seumur hidupku, saat inilah saat yang paling istimewa yang pernah kualami. Candle light dinner. Bagaimana aku bisa tidak suka? Bagaimana aku tidak menangis melihat mimpi-mimpi yang jadi kenyataan?
"Mia?" Natan berbisik di telingaku.
Dengan spontan kubalik tubuhku, menarik kepalanya dan mengecup bibirnya. Natan membalas melumat bibirku selama beberapa saat, sebelum menarik tubuhku menjauh, menyeka air mataku dan mencium keningku.
"Sudah, ayo kita makan."
Masih terisak kubalikkan tubuhku menghadapi meja makan.
Ya Tuhan, apa yang diperbuatnya hingga aku tak merasa jatuh cinta padanya?

Sembilan

"Bukan begitu, begini," Natan berkata sambil tertawa. Tangannya menopang tubuhku hingga tak sampai terjatuh. Dengan wajah merah aku berusaha meluruskan tubuhku. "Susah." Natan masih tertawa dan mencium bibirku.
"Belajar dong."
Perlahan kuperhatikan lagi irama yang keluar dari tape-deck di samping TV dan menggerakkan kakiku seiring gerakan Natan. Beberapa saat kemudian tubuhku sudah limbung lagi, kali ini aku benar-benar terjatuh ke atas karpet. Natan tertawa dan mendudukkan tubuhnya di sebelahku.
"Badanku lemas," bisikku lirih.
Kurasakan Natan memeluk tubuhku dan menempelkan kepalaku di dadanya.
"Lain kali pelan-pelan saja."
Bukan itu. Tapi tubuhku terasa lemas sekali. Dan rasa panas di kepalaku.
"Mia?" kudengar Natan berkata di telingaku. Aku tak sanggup menolehkan kepalaku, semua terasa berputar. Kuraih leher pemuda itu dan memeluknya erat-erat.
Natan mengecup bibirku..

Sepuluh

Rasa nyeri dan dingin di tubuhku membuatku terbangun. Betapa terkejutnya hatiku saat kulit lenganku menyentuh kulit seseorang. Kuangkat tubuhku dan terkesiap melihat Natan berbaring di sebelahku, telanjang bulat. Aku juga, telanjang. Kutarik tepian selimut di pahaku dan menutupi dadaku, bingung apa yang terjadi dan apa yang harus kuperbuat. Natan menggeliat dan membalikkan tubuhnya. Rambutnya kusut dan matanya terlihat berkantung, "Mia? Kamu bangun?"
"Natan..?" bisikku lirih, dan air mata mulai membanjir di pipiku. Kurasakan lengan pemuda itu melingkar di punggungku, bibirnya menempel di telingaku.
"Aku sayang kamu, Mia."
Masih terisak kurasakan bibirnya menyentuh bibirku. Lengannya melepaskan genggamanku pada selimut dan menekan tubuhku berbaring.

"Natan.." desahku saat merasakan tubuh pemuda itu menindihku.
"Aku sayang kamu," bisikan itu kembali mengiang di telingaku. Kurasakan getaran-getaran kecil di pori-pori tubuhku saat Natan membelai dan mengecup buah dadaku. Ingin rasanya kucampakkan tubuh pemuda itu, tapi tubuhku sendiri terasa begitu lemas dan benakku terasa berputar. Natan mengangkat kedua lenganku ke atas dan menciumi leherku. Panas merasuki tubuhku, membuatku menggelinjang dan mendesah. "Ahh," erangku saat sesuatu menekan kemaluanku dan memaksa masuk. Rasa nyeri kembali menyerang selangkanganku.

"Mia," kudengar Natan memanggil namaku dengan lembut. Kubuka mataku yang sedari tadi kupejamkan dan kulihat Natan memandangku hangat lalu mengecup bibirku yang setengah terbuka. Lalu kurasakan benda keras yang menyesak di kemaluanku tadi melesak dan menusuk dengan rasa nyeri yang luar biasa. Kudengar Natan mendesah dan mengerang di atasku. Perlahan kurasakan kesadaran mulai meninggalkanku dengan pertanyaan-pertanyaan 'apa ini? apa itu'. Tapi kecupan-kecupan Natan di tubuhku menarik kesadaranku kembali, membuat tubuhku berguncang. Rasa nyeri itu perlahan menghilang saat Natan menggerakkan tubuhnya, berganti dengan rasa geli yang menyenangkan. Natan mengulum bibirku dan menarik lenganku melingkari lehernya. Benda keras itu bergerak-gerak di dalamku, memaksaku menggeliat dan mengerang. Perlahan tapi pasti suatu rasa merangsak naik dari selangkangan menelusuri tulang punggungku, membuka semua pori-pori kulitku, membuat bulu-buluku meremang. Mendadak langit kamar berputar di atas kepalaku, kilatan cahaya menggelapkan dan rasa pening sekejap menyerang kepalaku. Kurasakan benda keras itu tertarik keluar. Natan mengerang dan tubuhnya kaku di atasku.

"Mia, aku sayang kamu. Selamat ulang tahun, Sayang."
Dan aku tak bisa berkata apapun juga, bahkan saat pemuda itu menyusupkan kepalanya di dada telanjangku. Pikiranku terasa kosong, tubuhku benar-benar lemas sekarang, walau rasa nyeri itu sudah jauh berkurang. Apa yang terjadi? Apa yang sudah kulakukan barusan?

Sebelas

Natan membetulkan letak kaca mataku sebelum mengecup keningku di depan teras. "Aku pulang dulu, Mia. Aku sayang kamu." Dan aku mulai meragukan kata-kata yang sejak tadi sore mengiang di kepalaku dengan nada yang begitu menteramkan.
"Natan.."
"Ya?" pemuda itu membalikkan tubuhnya.
Kupeluk tubuhnya erat, berusaha meyakinkan bahwa Natan tidak menipuku dan mempermainkanku selama enam bulan ini.
"Aku sayang kamu juga."
Kurasakan Natan membelai punggung dan rambutku.
"Akhirnya kamu katakan juga."
Dalam air mata yang kembali mengalir di pipiku aku tertawa. Bahagia?

Dua belas

Kami sempat melakukannya beberapa kali lagi dua bulan sesudahnya. Aku senang, karena Natan benar-benar sayang padaku. Ia membuktikannya dengan tidak merubah perlakuannya padaku, masih penuh kasih sayang dan kelembutan. Hanya satu kata yang mengusik benakku setiap malam menjelang tidur, yaitu 'dosa'. Karena sebagai anak yang terlahir di sebuah keluarga yang religius, mama dan papa berulang-ulang mengingatkanku untuk tidak terjerumus dalam seks pranikah. Tapi apa yang sudah kulakukan sekarang? Bahkan pada saat aku dan Natan melakukannya terakhir kali, aku mulai merasa menikmatinya. Kalau bukan aku berarti tubuhku.

Hingga suatu hari yang menyakitkan..

"Filmnya bagus," ucapku tersenyum padanya saat melangkah keluar gedung bioskop. Natan memandangku dan ikut tersenyum. "Sayang sekali heroin-nya harus mati. Jaman sekarang cerita yang happy-ending susah didapatkan."
Dengan mengangguk kulangkahkan kakiku memasuki mobil. Mendadak rasa pening yang amat sangat merasuk di kepalaku, membuat kakiku terpeleset dan tubuhku terjatuh di samping mobil.
"Mia?" seru Natan seraya mengangkatku beridiri.
Dunia terasa berputar. Kupegang atap mobil dan berusaha menghilangkan pening itu dengan menggoyangkan kepalaku. Sejak dua bulan lalu memang rasa pusing dan mual sering menyerang kepalaku dengan frekuensi tak teratur.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Natan masih memegangi pinggangku.
"Nggak apa-apa."
"Aku antar kamu pulang saja."
Mengangguk lemah kumasukkan lagi tubuhku ke dalam mobil.

Sesampainya di rumah kubuka lemari obat dan mengeluarkan sebungkus neuralgin kepunyaan mama.
"Kamu sakit?" tanya mama di pintu dapur.
"Pusing," jawabku lemah.
Mama mendekat dan memegang lenganku, mendadak alisnya berkerut manatapku. "Kamu tambah gemuk."
"Masa?" jawabku tak acuh seraya menyorong obat dengan air dingin. Kulepaskan lenganku dari mama dan melangkah ke kamar.

Pagi itu. Pukul tiga, rasa sakit kembali mengguncang otakku dan memaksaku bangun. Mendadak perutku merasa mual yang amat sangat. Kularikan tubuhku ke kamar mandi dan sekejap kemudian cairan lengket tumpah keluar dari mulutku dan memenuhi WC. Perutku melilit dan kepalaku sakit.Ya Tuhan, pikirku dalam hati. Aku hamil?

Tiga belas

"Masa?" tanya Natan dengan wajah pucat keesokan harinya di kantin.
"Aku takut," bisikku lirih. Natan menolehkan kepalanya dan memastikan tidak ada seorangpun yang memperhatikan kami.
"Lalu?" tanyanya, sebuah pertanyaan bodoh yang tak ingin kudengar saat itu. Kubetulkan letak kaca mataku, menatap pemuda itu berang. Ingin rasanya saat itu aku berteriak padanya, namun Febrita sudah menghampiri kami.
"Ayo, Mia. Kita masih ada tugas untuk dikerjakan."
"Jawab sendiri pertanyaanmu," desisku sebelum bangkit berdiri. Natan menatapku dengan pandangan sedih. Jangankan kamu Natan, aku sendiri yang punya tubuh juga merasa ingin mati.

Empat belas

"Mia! Mia! Kamu kenapa?"
Febrita memegangi lenganku. Kurasakan semua orang mulai berkerumun dan mengelilingiku. Tak tertahan lagi kumuntahkan kembali semua isi perutku. Kudengar bapak dosen berseru, "Cepat bawa anak ini ke rumah sakit."
Sesuatu terasa menusuk kepalaku saat lengan-lengan itu memapahku berdiri. Kilatan-kilatan kembali menggelapkan dan menerangi pandanganku. Perlahan suara-suara ribut berubah menjadi desau angin yang menghantarkan kegelapan itu memenuhi benakku.
Natan? Di mana kamu Natan?

Kularikan kakiku sambil berseru-seru memanggil nama kekasihku.
Ini bukan kehamilan.. Natan! Nataann!
Lorong itu masih gelap dengan nebula-nebula menyelimuti pandanganku.

Lima belas

Kubuka mataku saat kurasakan sebuah bibir yang kering mengecup pipiku lembut. Kulihat pemuda itu sudah duduk di sampingku. Wajahnya masih pucat seperti minggu kemarin saat kukatakan bahwa aku hamil. Kukembangkan senyumku padanya dan ia ikut tersenyum.
"Sejak kapan di sini?" tanyaku lirih padanya.
Natan, masih tersenyum, membetulkan letak selimut yang menutupi tubuhku sampai ke dada.
"Lumayan. Sekitar Satu jam-an."
Kucoba mengangkat tubuhku tapi Natan menahan. "Tiduran saja."
"Oke," sahutku dan merasakan tubuhku benar-benar lemas. Kuacungkan tanganku ke arah kaca mata di samping tempat tidur. Natan mengambilnya dan memasangkannya di kepalaku.
"Kamu tahu sesuatu yang menyenangkan?" bisiknya lirih.
"Apa?" tanyaku ingin tahu.
"Kamu nggak jadi hamil," jawabnya. Lalu kami berdua tertawa.
Tawa itu pahit. Kami berdua tahu itu. Mendadak Natan menjatuhkan kepalanya di perutku dan menangis.

"Mia.."
"Ssshh, kok nangis?" Kubelai rambutnya yang ikal. Bahkan air mataku sudah habis sejak empat hari yang lalu. Natan mengangkat kepalanya, meraih tanganku dan menciuminya.
"Hey, kan geli," candaku.
Natan tersenyum walau air mata masih terlihat di pipinya. "Betapa aku menyayangi kamu, Mia."
"Aku tahu."
Suasana mendadak jadi hening.
"Natan?"
"Ya," jawab pemuda itu dengan lembut.
"Aku mau bercinta denganmu."
"Hah?" pemuda itu lalu tertawa, "Sekarang? Di sini?"
"Ya. Di mana lagi?" ucapku tersenyum.

Natan menatap ke pintu kamar, tertawa dan membuka retsleting celananya.
"Dasar," ucapnya tersenyum. Dengan tertawa kutarik tubuhnya ke atas tempat tidur. Natan menciumi bibirku, wajahku, telingaku, leherku, dada telanjangku. Membuatku menggelinjang dalam kenikmatan. Kubiarkan pemuda itu bergerak-gerak di atasku, memasuki tubuhku dan memenuhi rongga kewanitaanku dengan kelelakiannya. Bersama kami mengerang lirih dan mendesah lembut, tak ingin perawat-perawat itu tahu apa yang kami nikmati saat itu.

"Natan," bisikku terengah.
Natan mengangkat kepalanya dari dadaku. "Ya?"
"Keluarkan di dalam?" pintaku sambil melirik kepadanya. natan membelalakkan matanya.
"Yang benar saja?" Sesuatu yang tak pernah dilakukannya.
"Benar," bisikku padanya. Natan tersenyum dan sebutir air mata kembali jatuh di perutku.
Aku sayang kamu, seolah matanya berkata demikian. Natan menundukkan kepalanya dan menggerakkan pinggulnya semakin cepat. Kurasakan sentakan demi sentakan memicu rangsangan listrik itu ke otakku.
"Natan," desahku memanggil namanya. Natan menggeliat dan mengencangkan pinggulnya, menekan lama. Kurasakan semburan cairan itu panas di dalam kemaluanku. Kulegakan listrik yang sampai di otakku dengan menghembuskan nafas lega, sekejap kemudian endomorfin bekerja melenakanku dalam kelelahan dan kenikmatan yang tiada taranya.
Natan menyusupkan kepalanya di leherku dan berbisik, "Aku tetap sayang kamu, Mia. Selamanya."
Dan bahu pemuda itu beguncang kembali. Di sela isak tangisnya kurangkul lehernya dan berbisik menimpali. "Aku juga, Natana."

Aku tahu, tak lama lagi aku akan meninggalkan dunia dengan kanker otak yang sudah mengeroposkan tubuhku. Namun apa yang selama ini menjadikan iri-ku sudah kubayar impas. Tak ada lagi yang kuharapkan selain menikmati masa-masa terakhirku di samping orang-orang yang kukasihi. Mungkin penyesalanku yang terutama adalah mengapa semua ini terlalu cepat berawal dan berakhir. Tapi itulah yang namanya hidup. Selalu penuh kejutan.

Saat kulangkahkan kakiku menelusuri anak tangga demi anak tangga menuju ke puncak menara untuk melihat gunung dan bukit di bawah, aku sadar bahwa akhirnya aku takkan sanggup menggapai puncak itu. Tapi bahagiaku karena aku menyaksikan sudah pemandangan indah itu dari celah tembok menara. Tak perlu muluk, yang penting bahagia, bukan?

TAMAT


No comments:

Post a Comment