Pages

Friday, March 11, 2011

Aduh Ayah

Aku adalah anak tunggal. Ibuku adalah seorang wanita yang disiplin dan
agak keras sedangkan ayahku kebalikannya bahkan bisa dikatakan bahwa
ayah di bawah bendera ibu. Bisa dikatakan ibulah yang lebih mengatur
segala-galanya dalam keluarga. Namun, walaupun ibu keras, di luar rumah
aku termasuk cewek bandel dan sering tukar-tukar pacar, tentunya tanpa
sepengetahuan ibuku. Tapi suatu saat, pada saat aku duduk di kelas 2
SMA, ibuku pergi mengunjungi nenek yang sakit di kampung. Dia akan
tinggal di sana selama 2 minggu. Hatiku bersorak. Aku akan bisa bebas di
rumah. Tak akan ada yang memaksa-maksa untuk belajar. Aku juga bebas
pulang sore. Kalau Ayah, yah.. dia selalu kerja sampai hampir malam.

Pulang sekolah, aku mengajak pacarku, Anton, ke rumah. Aku sudah
beberapa kali mengadakan hubungan kelamin dengannya. Tetapi hubungan
tersebut tidak pernah betul-betul nikmat. Selalu dilakukan buru-buru
sehingga aku tidak pernah orgasme. Aku penasaran, bagaimana sih
nikmatnya orgasme?

Singkat cerita, aku dan Anton sudah berada di ruang tengah. Kami merasa
bebas. Jam masih menunjukkan angka 3:00 sedangkan ayah selalu pulang
pukul enam lewat. So, cukup waktu untuk memuaskan berahi. Kami duduk di
sofa. Anton dengan segera melumat bibirku. Kurasakan hangatnya bibirnya.
“Ah..” kurangkul tanganku ke lehernya. Ciumannya semakin dalam. Kini
lidahnya yang mempermainkan lidahku. Tangannya pun mulai bermain di
kedua bukitku. Aku benar-benar terangsang. Aku sudah bisa merasakan
bahwa vaginaku sudah mulai basah. Segera kujulurkan tanganku ke perut
bawahnya. Aku merasakan bahwa daerah itu sudah bengkak dan keras. Kucoba
membuka reitsleting celananya tapi agak susah. Dengan segera Anton
membukakannya untukku. Bagai tak ingin membuang waktu, secara bersamaan,
aku pun membuka kemeja sekolahku sekaligus BH-ku tapi tanpa mengalihkan
perhatianku pada Anton. Kulihat segera sesudah CD Anton lepas,
senjatanya sudah tegang, siap berperang.

Kami berpelukan lagi. Kali ini, tanganku bebas memegang burungnya. Tidak
begitu besar, tapi cukup keras dan berdiri dengan tegangnya. Kuelus-elus
sejenak. Kedua telurnya yang dibungkus kulit yang sangat lembut, sungguh
menimbulkan sensasi tersendiri saat kuraba dengan lembut. Penisnya
kemerah-merahan, dengan kepala seperti topi baja. Di ujungnya berlubang.
Kukuakkan lubang kecil itu, lalu kujulurkan ujung lidahku ke dalam.
Anton melenguh. Expresi wajahnya membuatku semakin bergairah. “Ah..”
kumasukkan saja batang itu ke mulutku. Anton melepaskan celana dalamku
lalu mempermainkan vaginaku dengan jarinya. Terasa sentuhan jarinya
diantara kedua bibir kemaluanku. Dikilik-kiliknya klitorisku. Aku makin
bernafsu. Kuhisap batangnya. Kujilati kepala penisnya, sambil tanganku
mempermainkan telurnya dengan lembut. Kadang kugigit kulit telurnya
dengan lembut.

“Nit, pindah di lantai saja yuk, lebih bebas!”
Tanpa menunggu jawabanku, dia sudah menggendongku dan membaringkanku di
lantai berkarpet tebal dan bersih. Dibukanya rok abu-abuku, yang tinggal
satu-satunya melekat di tubuhku, demikian juga kemejanya. Sekarang aku
dan dia betul-betul bugil. Aku makin menyukai suasana ini. Kutunggu, apa
yang akan dilakukannya selanjutnya. Ternyata Anton naik ke atas tubuhku
dengan posisi terbalik, 69. Dikangkangkannya pahaku. Selanjutnya yang
kurasakan adalah jilatan-jilatan lidahnya yang panas di permukaan
vaginaku. Bukan itu saja, klitorisku dihisapnya, sesekali lidahnya
ditenggelamkannya ke lubangku. Sementara batangnya tetap kuhisap. Aku
sudah tidak tahan lagi.

“Ton, ayo masukin saja.”
“Sebentar lagi Nitt.”
“Ah.. aku nggak tahan lagi, aku mau batangmu, please!”
Anton memutar haluan. Digosok-gosokannya kepala penisnya sebentar lalu..
“Bless..” batang itu masuk dengan mantap. Tak perlu diolesi ludah untuk
memperlancar, vaginaku sudah banjir. Amboy, nikmat sekali.
Disodok-sodok, maju mundur.. maju mundur. Aku tidak tinggal diam.
Kugoyang-goyang juga pantatku. Kadang kakiku kulingkarkan ke pinggangnya.

Tiba-tiba, “Ah.. aku keluar..” Dicabutnya penisnya dan spermanya
berceceran di atas perutku.
“Shit! Sama saja, aku belum puas, dia sudah muntah,” rungutku dalam hati.
Tapi aku berpikir, “Ah, tak mengapa, babak kedua pasti ada.”
Dugaanku meleset. Anton berpakaian.
“Nit, sorry yah.. aku baru ingat. Hari ini rupanya aku harus latihan
band, udah agak telat nih,” dia berpakaian dengan buru-buru. Aku
betul-betul kecewa.
“Kurang ajar anak ini. Dasar egois, emangnya aku lonte, cuman memuaskan
kamu saja.”
Aku betul-betul kecewa dan berjanji dalam hati tak akan mau /main/ lagi
dengannya. Karena kesal, kubiarkan dia pergi. Aku berbaring saja di
sofa, tanpa mempedulikan kepergiannya, bahkan aku berbaring dengan
membelakanginya, wajahku kuarahkan ke sandaran sofa.

Kemudian aku mendengar suara langkah mendekat.
“Ngapain lagi si kurang ajar ini kembali,” pikirku. Tapi aku memasang
gaya cuek. Kurasakan pundakku dicolek. Aku tetap cuek.
“Nita!”
Oh.. ini bukan suara Anton. Aku bagai disambar petir. Aku masih
telanjang bulat.
“Ayah!” aku sungguh-sungguh ketakutan, malu, cemas, pokoknya hampir mati.
“Dasar bedebah, rupanya kamu sudah biasa main begituan yah. Jangan
membantah. Ayah lihat kamu bersetubuh dengan lelaki itu. Biar kamu tahu,
ini harus dilaporkan sama ibumu.”
Aku makin ketakutan, kupeluk lutut ayahku, “Yah.. jangan Yah, aku mau
dihukum apa saja, asal jangan diberitahu sama orang lain terutama Mama,”
aku menangis memohon.

Tiba-tiba, ayah mengangkatku ke sofa. Kulihat wajahnya makin melembut.
“Nit, Ayah tahu kamu tidak puas barusan. Waktu Ayah masuk, Ayah dengar
suara-suara desahan aneh, jadi Ayah jalan pelan-pelan saja, dan Ayah
lihat dari balik pintu, kamu sedang dientoti lelaki itu, jadi Ayah intip
aja sampai siap mainnya.”
Aku diam aja tak menyahut.
“Nit, kalau kamu mau Ayah puasin, maka rahasiamu tak akan terbongkar.”
“Sungguh?”
Ayah tak menjawab, tapi mulutnya sudah mencium susuku. Dijilatinya
permukaan payudaraku, digigitnya pelan-pelan putingku. Sementara
tangannya sudah menjelajahi bagian bawahku yang masih basah. Ayah segera
membuka bajunya. Langsung seluruhnya. Aku terkejut. Kulihat penis ayahku
jauh lebih besar, jauh lebih panjang dari penis si Anton. Tak tahu aku
berapa ukurannya, yang jelas panjang, besar, mendongak, keras, hitam,
berurat, berbulu lebat. Bahkan antara pusat dan kemaluannya juga berbulu
halus. Beda benar dengan Anton. Melihat ini saja aku sudah bergetar.

Kemudian Aku didudukkannya di sofa. Pahaku dibukanya lebar-lebar. Dia
berlutut di hadapanku lalu kepalanya berada diantara kedua pangkal
pahaku. Tiba-tiba lidah hangat sudah menggesek ke dalam vaginaku. Aduh,
lidah ayahku menjilati vaginaku. Dia menjilat lebih lihai, lebih lembut.
Jilatannya dari bawah ke atas berulang-ulang. Kadang hanya klitorisku
saja yang dijilatinya. Dihisapinya, bahkan digigit-gigit kecil. Dijilati
lagi. Dijilati lagi. “Oh.. oh.. enak, Yah di situ Yah, enak, nikmat
Yah,” tanpa sadar, aku tidak malu lagi mendesah jorok begitu di hadapan
ayahku. Ayah “memakan” vaginaku cukup lama. Tiba-tiba, aku merasakan
nikmat yang sangat dahsyat, yang tak pernah kumiliki sebelumnya.

“Oh.. begini rupanya orgasme, nikmatnya,” aku tiba-tiba merasa lemas.
Ayah mungkin tahu kalau aku sudah orgasme, maka dihentikannya menjilat
lubang kewanitaanku. Kini dia berdiri, tepat di hadapan hidungku,
penisnya yang besar itu menengadah. Dengan posisi, ayah berdiri dan aku
duduk di sofa, kumasukkan batang ayahku ke mulutku. Kuhisap, kujilat dan
kugigit pelan. Kusedot dan kuhisap lagi. Begitu kulakukan
berulang-ulang. Ayah ikut menggoyangkan pantatnya, sehingga batangnya
terkadang masuk terlalu dalam, sehingga bisa kurasakan kepala penisnya
menyentuh kerongkonganku. Aku kembali sangat bergairah merasakan keras
dan besarnya batang itu di dalam mulutku. Aku ingin segera ayah memasuki
lubangku, tapi aku malu memintanya. Lubangku sudah betul-betul ingin
“menelan” batang yang besar dan panjang.

Tiba-tiba ayah menyeruhku berdiri.
“Mau main berdiri ini,” pikirku.
Rupanya tidak. Ayah berbaring di sofa dan mengangkatku ke atasnya.
“Masukkan Nit!” ujar Ayah.
Kuraih batang itu lalu kuarahkan ke vaginaku. Ah.. sedikit sakit dan
agak susah masuknya, tapi ayah menyodokkan pantatnya ke depan.
“Aduh pelan-pelan, Ayah.”
Lalu berhenti sejenak, tapi batang itu sudah tenggelam setengah akibat
sodokan ayah tadi. Kugoyang perlahan. Dengan perlahan pula batang itu
semakin masuk dan semakin masuk. Ajaibnya semakin masuk, semakin nikmat.
Lubang vaginaku betul-betul terasa penuh. Nikmat rasanya. Karena
dikuasai nafsu, rasa maluku sudah hilang. Kusetubuhi ayahku dengan
rakus. Ekspresi ayahku makin menambah nafsuku. Remasan tangan ayahku di
kedua payudaraku semakin menimbulkan rasa nikmat. Kogoyang pantatku
dengan irama keras dan cepat.

Tiba-tiba, aku mau orgasme, tapi ayah berkata, “Stop! Kita ganti posisi.
Kamu nungging dulu.”
“Mau apa ini?” pikirku.
Tiba-tiba kurasakan gesekan kepala penis di permukaan lubangku
kemudian.. “Bless..” batang itu masuk ke lubangku. Yang begini belum
pernah kurasakan. Anton tak pernah memperlakukanku begini, begitu juga
Muklis, lelaki yang mengambil perawanku. Tapi yang begini ini rasanya
selangit. Tak terkatakan nikmatnya. Hujaman-hujaman batang itu terasa
menggesek seluruh liang kewanitaanku, bahkan hantaman kepala penis
itupun terasa membentur dasar vaginaku, yang membuatku merasa semakin
nikmat. Kurasakan sodokan ayah makin keras dan makin cepat. Perasaan
yang kudapat pun makin lama makin nikmat. Makin nikmat, makin nikmat,
dan makin nikmat.

Tiba-tiba, “Auh..oh.. oh..!” kenikmatan itu meladak. Aku orgasme untuk
yang kedua kalinya. Hentakan ayah makin cepat saja, tiba-tiba kudengar
desahan panjangnya. Seiring dengan itu dicabutnya penisnya dari lubang
vaginaku. Dengan gerakan cepat, ayah sudah berada di depanku.
Disodorkannya batangnya ke mulutku. Dengan cepat kutangkap, kukulum dan
kumaju-mundurkan mulutku dengan cepat. Tiba-tiba kurasakan semburan
sperma panas di dalam mulutku. Aku tak peduli. Terus kuhisap dan
kuhisap. Sebagian sperma tertelan olehku, sebagian lagi kukeluarkan,
lalu jatuh dan meleleh memenuhi daguku. Ayah memelukku dan menciumku,
“Nit, kapan-kapan, kalau nggak ada Mama, kita main lagi yah.” Aku tak
menjawab. Sebagai jawaban, aku menggelayut dalam pelukan ayahku. Yang
jelas aku pasti mau. Dengan pacarku aku tak pernah merasakan orgasme.
Dengan ayah, sekali main orgasme dua kali. Siapa yang mau menolak?

Sesudah itu asal ada kesempatan, kami melakukannya lagi. Sementara mama
masih sering marah, dengan nada tinggi, berusaha mengajarkan disiplin.
Biasanya aku diam saja, pura-pura patuh. Padahal suaminya, yang menjadi
ayahku itu, sering kugeluti dan kunikmati. Beginilah kisah permainanku
dengan ayahku yang pendiam, tetapi sangat pintar di atas ranjang.

No comments:

Post a Comment